Sekolah
Hot Topic Nasional

P2G Kritik Kelas 50 Siswa: Solusi Gubernur Jabar Dinilai Timbulkan Masalah Baru

Channel9.id, Jakarta – Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyampaikan kritik keras terhadap kebijakan Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi yang mendorong penambahan jumlah siswa hingga 50 orang dalam satu kelas sebagai solusi mengatasi tingginya angka anak putus sekolah. Kebijakan ini dinilai justru bisa menimbulkan berbagai persoalan baru di dunia pendidikan.

Kepala Bidang Advokasi P2G, Iman Zanatul Haeri, menyebut bahwa meskipun niat Gubernur Dedi Mulyadi patut diapresiasi, pendekatan yang diambil berisiko menimbulkan efek kontraproduktif terhadap kualitas pembelajaran, kondisi psikologis siswa dan guru, serta keberlangsungan sekolah swasta.

“Kalau tiap kelas diisi 50 siswa, ruang kelas akan terasa seperti penjara. SMA/SMK rata-rata hanya mampu menampung maksimal 36 siswa. Ini akan membuat suasana belajar tidak kondusif, guru kesulitan mengajar, dan interaksi antar siswa minim,” kata Iman, Jumat (5/7).

Ia menambahkan, kebijakan ini juga bertentangan dengan aturan resmi yang ditetapkan pemerintah pusat. Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023 dan Keputusan Kepala BSKAP Nomor 071/H/M/2024 secara tegas menetapkan jumlah maksimal siswa per rombongan belajar adalah 36 orang.

Tak Menyentuh Akar Masalah

Menurut data P2G, Jawa Barat saat ini menghadapi angka putus sekolah yang cukup tinggi, yakni mencapai 658 ribu anak. Namun, Iman menilai bahwa memasukkan lebih banyak siswa ke dalam kelas bukan solusi jangka panjang.

“Banyak anak putus sekolah bukan hanya karena tidak tertampung di sekolah negeri. Ada juga yang menikah dini, bekerja, berhadapan dengan hukum, atau terdampak kemiskinan ekstrem. Mereka perlu pendekatan lain, bukan hanya sekadar disatukan dalam ruang kelas penuh sesak,” ujarnya.

Sebagai solusi konkret, P2G mengusulkan agar Gubernur melibatkan madrasah, pendidikan non-formal, dan sekolah rakyat, termasuk yang dikelola oleh Kementerian Sosial, untuk menampung anak-anak dari keluarga miskin ekstrem.

Kebijakan ini juga berpotensi mengganggu stabilitas pendidikan swasta. Satriwan Salim, Koordinator Nasional P2G, menyebut banyak sekolah swasta di Jawa Barat yang kini kekurangan siswa.

“Kami menerima laporan dari sekolah-sekolah swasta yang hanya menerima belasan bahkan kurang dari 10 calon siswa. Jika murid semua diarahkan ke sekolah negeri, sekolah swasta bisa kolaps dan para gurunya kehilangan pekerjaan,” ungkap Satriwan.

SMA Bhakti Putra Indonesia di Garut Selatan misalnya, hanya menerima 13 pendaftar. Sementara SMA Pasundan di Tasikmalaya hanya mendapatkan 4 calon siswa tahun ini. Fenomena ini, menurut Satriwan, sudah terjadi selama lima tahun terakhir dan diperparah dengan kebijakan terbaru ini.

Murid Berisiko Tak Terdata

P2G juga mengingatkan bahwa siswa yang dimasukkan secara “paksa” ke dalam kelas yang melebihi kapasitas resmi berpotensi tidak terdaftar dalam Data Pokok Pendidikan (Dapodik). Hal ini bisa mengakibatkan siswa tidak mendapat ijazah dan hak-hak pendidikan lainnya.

“Murid-murid ini bisa dianggap ilegal. Ini sangat berbahaya karena menyangkut masa depan mereka,” tegas Satriwan.

Empat Solusi Jangka Panjang

Menambah ruang kelas atau rombongan belajar (rombel) di SMA/SMK negeri agar daya tampung meningkat tanpa mengorbankan kualitas pembelajaran.

Membangun Unit Sekolah Baru (USB) dengan mempertimbangkan eksistensi sekolah swasta di sekitar agar tidak menimbulkan persaingan tidak sehat.

Menerapkan “Skema SPMB Bersama” dengan melibatkan SMA/SMK swasta sebagai bagian dari penerimaan siswa baru. Pemerintah provinsi membiayai siswa yang tak tertampung di sekolah negeri agar tetap bisa bersekolah di swasta secara gratis.

Mendorong sinergi pemerintah pusat dan daerah untuk memastikan sekolah gratis berkualitas bisa dinikmati masyarakat, sesuai semangat putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 3/PUU-XXII/2024.

P2G menegaskan bahwa solusi menurunkan angka anak putus sekolah tidak bisa dilakukan dengan cara instan. Pendidikan, menurut mereka, harus dirancang dengan memperhatikan aspek pedagogis, psikologis, sosial, dan ekonomi secara menyeluruh.

“Jangan sampai kebijakan yang niatnya baik justru merusak ekosistem pendidikan yang selama ini dibangun bersama oleh pemerintah dan masyarakat,” tutup Satriwan.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

89  +    =  92