Hot Topic Nasional

P2G: RUU Sisdiknas Secara Prosedural Tidak Dialogis

Channel9.id – Jakarta. Pembahasan RUU Sistem Pendidikan Nasional (Sisdiknas) tengah dilakukan Kemdikbudristek, bahkan target Kemdikbudristek masuk Prolegnas (program legislasi nasional) prioritas pada Mei 2022. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menilai RUU Sisdiknas ini sangat lemah dari aspek formal prosedural dan aspek isi atau materi.

“Secara prosedural pembahasan melalui uji publiknya tidak dialogis, tidak partisipatif, dan minus transparansi. Kebijakan pendidikan harusnya melingkupi semua yang berkepentingan dalam proses itu,” ujar Kabid Advokasi Guru P2G Iman Zanatul Haeri dalam keterangan tertulis, Minggu 13 Maret 2022.

Iman melanjutkan, pendidikan menjadi “sesuatu yang dipertaruhkan” oleh banyak pihak, bukan hanya pemerintah saja. Organisasi guru, dosen, LPTK adalah diantara stakeholder terpenting yang harus terlibat intensif dalam kebijakan pendidikan.

Di samping itu, P2G mempertanyakan, argumentasi perubahan 8 SNP (berlaku sampai sekarang) menjadi 3 SNP. Landasan ilmiah perubahan menjadi 3 SNP dalam Naskah Akademik (Nasmik) RUU Sisdiknas sangat lemah karena cuma merujuk satu riset sangat terbatas oleh satu lembaga saja, penelitian terbatas di 3 daerah: kota Bukittinggi, Way Kanan, dan Kebumen (halaman 160-163). Padahal Indonesia memiliki 514 kota/kabupaten terbentang luas dari Papua sampai Aceh.

“Kajian Nasmik RUU Sisdiknas tidak merepresentasikan ragam konteks geografis dan demografis Indonesia, terkesan Jawa-Sumatera sentris, tidak relevan dan kontekstual, tentu tak layak dijadikan sumber referensi. Nasmik yang miskin literatur dan referensi tak patut dijadikan dasar,” tutur alumni pelatihan guru di Seoul ini.

P2G juga ingin uraian Nasmik RUU Sisdiknas sebagai landasan akademis dibuat lebih ilmiah, komprehensif, dan dapat dipertanggungjawabkan. Misal mengenai penjelasan tentang “kurikulum”, dalam Nasmik hanya menguraikan Kurikulum 2013. Tidak satupun ditemukan uraian mengenai Kurikulum Prototipe dan Kurikulum Merdeka, padahal kurikulum tersebut sudah diimplementasikan sekarang, bahkan target Kemdikbudristek memberlakukannya di setiap sekolah secara nasional pada 2024. Jadi Nasmik RUU Sisdiknas dan isi RUU Sisdiknas tidak berkorelasi dengan perubahan kurikulum, ini cukup membingungkan.

Kemudian istilah “kerangka kurikulum” yang dikutip berasal dari paper panelis di Afrika tahun 2007. Jelas tidak kontekstual dan ketinggalan zaman.

“Selain itu P2G tetap berharap agar mata pelajaran Sejarah masuk dalam ‘muatan wajib’ dan ‘mata pelajaran wajib’ dalam struktur kurikulum nasional, artinya Pasal 93 mesti direvisi. Masa Bahasa Asing masuk muatan wajib, pelajaran Sejarah tidak, hanya dijadikan pelajaran pilihan, ini kan aneh?”, cetus Iman yang mengajar Sejarah.

Di samping itu, yang cukup mengganjal dalam Pasal 105, ada ketentuan Lembaga Mandiri ikut melakukan evaluasi terhadap siswa.

“Mengapa ada evaluasi siswa oleh Lembaga Mandiri? Padahal semestinya evaluasi siswa cukup dilakukan oleh guru (sekolah) dan Kemdikbudristek sepanjang formulanya tidak seperti Ujian Nasional (UN) dulu yang merugikan siswa termasuk guru,” kata Iman.

“P2G khawatir evaluasi siswa oleh lembaga mandiri berpotensi melahirkan proyek-proyek rente ujian bahkan jual beli sertifikat dari lembaga swasta. Karena pengakuan evaluasi dilakukan melalui Sertifikat yang dikeluarkan lembaga swasta tersebut (Pasal 105 ayat 3-4). Pasal tersebut akan melahirkan bisnis pendidikan yang difasilitasi negara, bahkan tak menutup kemungkinan akan terjadi praktik kolusi antara lembaga swasta dengan pemerintah, jelas sangat memilukan,” lanjutnya.

Dia melanjutkan, praktik bisnis pendidikan model begini merusak ekosistem sekolah karena menciptakan persaingan bisnis di luar konteks pembelajaran. Bukannya memperbaiki kualitas asesmen dalam kelas, Kemdikbudristek malah mengundang pihak luar untuk mengintervensi hasil belajar. Hasilnya, para siswa akan terbebani banyak format ujian sebagaimana pada masa UN, bedanya ini dikerjakan oleh pihak swasta.

Bagi P2G justru sesungguhnya yang penting itu evaluasi sistem atau program oleh Lembaga Mandiri eksternal terhadap Kemdikbudristek. Seperti Evaluasi Program Sekolah Penggerak, Evaluasi Program Guru Penggerak, dan Evaluasi Kurikulum Merdeka, dan kebijakan pendidikan lain.

“Jangan logikanya dibolak-balik. Siswa dievaluasi lembaga mandiri eskternal, sedangkan Kemdikbudristek tidak, ini kan menggelikan,” tegasnya.

P2G masih berharap Kemdikbudristek terus membuka ruang dialog yang terbuka, jujur, dan partisipatif bersama semua stakeholder pendidikan.

“Jangan terburu-buru mengesahkannya menjadi UU. Seperti nasihat orang tua di Jawa dulu: “Ojo kesusu, ojo grusa grusu, mengko mundhak kleru”. Jangan sampai Kemdikbudristek dan DPR berlindung di balik alasan pandemi, secepat kilat sehingga proses pembahasan RUU ini bernasib seperti RUU Cipta Kerja atau UU IKN,” pungkasnya.

HY

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

52  +    =  56