Politik

P2G Sebut Kampanye di Sekolah, Ganggu Proses Belajar

Channel9.id – Jakarta. Perhimpunan Pendidikan dan Guru (P2G) menyayangkan adanya aturan yang membolehkan kampanye di lingkungan pendidikan, karena hal itu akan mengganggu proses belajar dan mengajar.

Menurut P2G, penggunaan fasilitas pendidikan untuk kampanye pemilu akan menjadi memori kuat warga sekolah bahwa politik hanya menjadi beban saja.

“Penggunaan fasilitas pendidikan, jika ditafsirkan sebagai penggunaan lahan dan bangunan sekolah dan universitas maka jelas akan mengganggu proses belajar dan mengajar,” ujar Kabid Advokasi Guru P2G, Iman Zanatul Haeri kepada awak media, Minggu (20/8/2023).

Dia mengatakan, penjelasan ‘sepanjang mendapatkan izin dari penanggung jawab tempat’ dapat menimbulkan masalah. Sebagai contoh, ketika penggunaan gedung sekolah untuk pemilu dilakukan, kepala sekolah akan sulit menolaknya apalagi diperintahkan secara struktural dari pemerintah daerah (pemda) dan dinas pendidikan.

“Siapa yang akan bertanggung jawab atas kerusakan dan kehilangan fasilitas atau aset sekolah? Nah, kalau dikembalikan ke sekolah, jelas beban baru bagi sekolah,” kata dia.

Selanjutnya menurut Iman, penggunaan fasilitas pendidikan itu menimbulkan pertanyaan baru mengenai ketiadaan tempat lain hingga harus menggunakan lahan dan gedung sekolah. Menurut dia, masih banyak fasilitas pemerintah lain yang dapat dijadikan sebagai tempat untuk berkampanye para kontestan pemilu.

“Memang tidak ada tempat lain? Kenapa pemilu malah harus menggunakan lahan dan gedung sekolah atau fasilitas pendidikan? Kan masih banyak fasilitas pemerintah lainnya. Jangan pendidikanlah,” kata Iman menegaskan.

Iman menegaskan, yang dibutuhkan di lingkungan pendidikan tak lain adalah edukasi politik, yang mana pendidikan politik bagi siswa itu baik untuk mereka. Bukan justru menggunakan fasilitas pendidikan hanya pada saat pemilu saja. Hal itu dapat membuat kesan tak baik di memori para warga sekolah.

“Akan menjadi memori kuat warga sekolah, yakni guru, tenaga pendidik, dan peserta didik, bahwa politik hanya menjadi beban saja. Secara eksplisit pun mengajarkan kegiatan politik hanya datang setiap pemilu saja atau jika berkepentingan saja. Memori ini yang tidak kita harapkan,” tegas Iman.

Sebelumnya MK membolehkan peserta pemilu berkampanye di fasilitas pemerintah dan pendidikan (sekolah dan kampus) sepanjang tidak menggunakan atribut kampanye. Aturan itu termuat dalam Putusan MK Nomor 65/PUU-XXI/2023 yang dibacakan pada Selasa (15/8/2023).

Putusan tersebut bermula dari permohonan uji materi yang diajukan dua warga negara, Handrey Mantiri dan Ong Yenni, karena menilai ada inkonsistensi norma terkait larangan kampanye dalam Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Pasal 280 ayat 1 huruf h melarang kampanye di tempat ibadah, tempat pendidikan, dan fasilitas pemerintah.

Sedangkan, dalam bagian Penjelasan beleid itu terdapat kelonggaran terkait larangan tersebut. “Fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan dapat digunakan jika peserta pemilu hadir tanpa atribut kampanye pemilu atas undangan dari pihak penanggung jawab fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan,” demikian bunyi bagian penjelasan itu.

MK dalam amar putusannya menyatakan, bagian Penjelasan itu tidak berkekuatan hukum mengikat karena menciptakan ambiguitas. Kendati demikian, MK memasukkan bunyi bagian Penjelasan itu ke dalam norma pokok Pasal 280 ayat 1 huruf h, kecuali frasa “tempat ibadah”.

“Sehingga Pasal 280 ayat (1) huruf h UU Pemilu selengkapnya berbunyi, ‘(peserta pemilu dilarang) menggunakan fasilitas pemerintah, tempat ibadah, dan tempat pendidikan, kecuali untuk fasilitas pemerintah dan tempat pendidikan sepanjang mendapat izin dari penanggung jawab tempat dimaksud dan hadir tanpa atribut kampanye pemilu’,” demikian bunyi putusan MK itu.

Baca juga: P2G: Ratusan Guru PPPK DKI Mengajar di Luar Kompetensi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  21  =  31