Hukum

Pakar: Jangan Umbar Materi Kasus, Blokir Rekening Jenderal dan Jaksa Tersangka

Chanel9.id-Jakarta. Paska tertangkapnya buronan kelas kakap Djoko Tjandra oleh Bareskrim Polri, masih terus menjadi perbincangan. Dugaan terkait pemalsuan surat dan masalah kode etik kepada oknum jaksa dan jenderal polisi, kini melebar dengan dugaan adanya perbuatan suap atau gratifikasi.

Terkait hal itu, Ketua Umum Masyarakat Hukum Pidana dan Kriminologi Indonesia (MAHUPIKI), Yenti Garnasih, meminta penyidik Polri untuk segera memblokir rekening oknum jenderal polisi dan jaksa yang terlibat kasus suap Djoko Tjandra.

Menurut Yenti, dalam perkara korupsi, maka tentu masalah aliran dana menjadi sangat penting dalam penanganannya.

“Semestinya penyidik memblokir seluruh rekening para tersangka dengan tujuan jika perkara itu terbukti di pengadilan, akan memudahkan Jaksa mengeksekusi uang hasil korupsi untuk diserahkan ke negara,” kata Yenti Garnasih, Kamis, (27/08).

Dekan FH Universitas Pakuan ini juga menilai, hukuman dalam perkara korupsi tidak hanya pidana badan (perampasan kemerdekaan), tapi merampas uang hasil korupsi untuk diserahkan pada negara juga harus menjadi prioritas oleh penegak hukum.

“Bila tak ada tindakan blokir, dikhawatirkan uang hasil korupsi akan hilang, dan menyulitkan pelacakan,” ujarnya.

Seperti diketahui, dalam penyidikan dugaan suap korupsi terkait penghapusan red notice terpidana pengalihan hak tagih Bank Bali, Dkoko Tjandra mengakui telah memberi uang pada dua jenderal polisi, dimana Polri juga telah menetapkan Inspektur Jenderal (Irjen) Napoleon Bonaparte dan Brigadir Jenderal (Brigjen) Prasetijo Utomo yang kemudian ditetapkan sebagai tersangka oleh Polri.

Sementara itu, Kejaksaan Agung juga telah menetapkan Jaksa Pinangki Sirna Malasari sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi terkait Joko Soegiarto Tjandra alias Djoko Tjandra.

“Saya ingatkan kepada aparatur penegak hukum dalam hal ini penyidik Polri agar bertindak adil dengan semua tersangka, termasuk dalam kasus ini. Jangan sampai tidak bisa menjelaskan secara obyektif mengapa seseorang ditahan sedang yang lain tidak, sementara dalam satu rangkaian kasus,” jelasnya.

Yenti juga mengingatkan penyidik jika sudah mendapatkan bukti tersangka melakukan korupsi dan ada penerimaan dana yang mungkin sekali sudah digunakan atau dialirkan oleh penerima dalam upaya penyembunyikan ataupun dalam hal sekedar dinikmati untuk segera menerapkan Undang-Undang (UU) Nomor 8 Tahun 2010 tentang Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) kepada mereka.

Tujuannya, bila uang tersebut sudah mengalir kemana-mana, termasuk bila sudah dipindahbukukan, atau ditransfer meskipun ke rekeningnya sendiri, termasuk obyek yang bisa dirampas untuk negara.

“Saya memandang penyidik seharusnya dapat menggabungkan sangkaan (nanti dalam satu dakwaan) tindak pidana korupsi dan pencucian uang, sejalan dengan Pasal 75 UU TPPU dimana inti dari pasal itu, setelah terjadi tindak pidana asal dalam hal ini korupsi dan ada TPPU-nya, maka penyidik menggabungkan dengan penyidikan dugaan pencucian uang,” lanjutnya.

Terkait dengan pemberitaan pengakuan tersangka, Yenti menilai Polri sebaiknya tidak terlalu mengumbar pengakuan atau keterangan para tersangka ke publik, atau hasil penyidikan kepada publik, karena hal tersebut adalah materi penyidikan yang sesungguhnya tidak boleh diketahui publik.

“Hasil penyidikan tidak boleh disampaikan semuanya kepada publik karena menyangkut rahasia negara, apalagi hanya sekedar pengakuan tersangka yang merupakan alat bukti paling lemah dari pasal 184 KUHAP, sehingga mudah sekali diingkari dengan segala dalih misal ditekan penyidik dan lain- lain,” jelasnya.

Yenti menuturkan, hasil penyidikan baru menjadi konsumsi publik bila sudah dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum dalam persidangan yang bersifat terbuka untuk umum.

“Memang, transparansi perjalanan kasus yang melibatkan oknum polri, perlu dilakukan untuk menunjukan keseriusan Polri dalam menyelesaikan kasus tersebut,” imbuhnya.

Namun, menurut Yenti, transparansi bukan berarti semua hasil penyidikan disampaikan ke publik, apalagi sudah masuk substansi perkara karena dapat membahayakan atau menggagalkan rencana dan strategi yang sedang dilakukan penyidik maupun penuntut umum.

“Untuk mengantisipasi tidak terjadi hal-hal ini, sudah sepatut nya Polri ber hati-hati dalam memberikan keterangan kasus Djoko Tjandra mengingat kasus ini masih menjadi sorotan publik, bukan hanya didalam negeri, melainkan sudah menjadi perhatian dunia,”ucapnya.

“Pilah dan pilih lah mana saja yang boleh disampaikan kepada publik dan substansi perkara apa saja yang sebaiknya tak boleh diketahui umum, agar Polri tetap Promoter, Profesional, Modern dan Terpercaya,” pungkas Yenti.

 

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1  +  9  =