Oleh: ReO Fiksiwan*
Channel9.id-Jakarta. “Requiem aeternam dona eis, Domine, et lux perpetua luceat eis.” Alihbasa: “Berilah mereka istirahat kekal, ya Tuhan, dan cahaya abadi hendaklah menyinari mereka.” — Missale Romanum – Ordo Exsequiarum(Edisi Tridentine 1570 oleh Paus Pius V).
Suatu petang awal tahun 2000, di pelataran Taman Ismail Marzuki (TIM) sebelum direnovasi, Romo Mudji duduk di regel dekat toko buku (antiquariat) milik peteater Jose Rizal Manua (71) sedang berdikusi dan saya, satu di antaranya.
Kesan saya, kesederhanaannya itu, terutama sendal cako yang ia kenakan mencerminkan karakter intelektual dan spiritualnya yang kukuh dan teguh.
Kini, kesan itu telah menebar di banyak ruang publik sebagai kiprahnya dan tentu ikut memengaruhi perkembangan watak intelektual saya seperti juga yang saya temukan pada mendiang Romo Mangun sejak Temu Budaya 1986 di TIM ketika itu.
Kabar datang mirip badai haru, menohok dan sungkawa, Romo Mudji Sutrisno(71) telah berpulang pada Minggu, 28 Desember 2025 pukul 20.43 WIB di RS Carolus Jakarta akibat sakit diabetes.
Ia meninggalkan jejak yang tak hanya terpatri di altar gereja, tetapi juga di ruang publik yang luas.
Ia bukanlah rohaniawan yang sekadar berdiri di mimbar-mimbar khotbah agung, melainkan seorang pastor budayawan yang mengabdikan hidupnya pada kehidupan nyata, religius sekaligus kultural.
Dengan rambut ikal panjang kian memutuh yang khas, kacamata minus dan sandal cako yang sederhana, Romo Mudji lalu lalang di berbagai ruang, dari forum akademik hingga pertemuan masyarakat sipil, menghadirkan wajah rohani yang bersahaja namun penuh gagasan.
Perjalanan hidupnya memperlihatkan pilihan yang jarang ditempuh oleh seorang imam.
Ia pernah duduk sebagai anggota Komisi Pemilihan Umum Republik Indonesia(2001-2003), menjadi bagian dari anggota Akademi Jakarta, serta memfasilitasi berbagai lembaga swadaya masyarakat.
Semua itu dijalani bukan sebagai pelarian dari panggilan imamat, melainkan sebagai perpanjangan tangan dari misi pastoral yang ia pahami: menghadirkan iman dalam praksis sosial, politik, dan budaya.
Romo Mudji, alumni S3 filsafat di UGM ini, mengajar filsafat di Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara Jakarta, menulis kolom, dan menerbitkan buku-buku yang menjadi rujukan penting dalam filsafat, kritik kebudayaan, dan teologi.
Di antara karyanya yang menonjol adalah Ide-Ide Pencerahan(2004), Langkah-Langkah Peradaban(1994), Oase Estetis(2006), Menbaca Wajah-Wajah Kebudayaan(2011), Kebudayaan dan Poskolonial(2004) dan Teori-Teori Kebudayaan (2005).
Kecuali Ide-Ide Pencerahan oleh Penerbit YOI, buku-buku lainnya diterbitkan Kanisius Yogyakarta.
Kiprah Romo Mudji dapat dibaca dalam konteks yang lebih luas, sebagaimana Karen Armstrong(81), mantan biarawati menulis biografi spiritual, Melintas Gerbang Sempit(Through the Narrow Gate,1997;2003) dengan ungkapan:
“Tentulah lebih baik untuk mengasihi orang lain, betapapun berantakan dan tidak sempurna keterlibatan itu, daripada membiarkan kemampuan kita untuk mencinta menjadi keras.”
Sementara jauh di abad sebelum masehi(BCE), filsuf Cicero(106-43 SM) dalam How to Die: An Ancient Guide to the End of Life(Gramedia,2020), mengulas: “Hari terakhir itu tidak membawa kepunahan bagi kita, melainkan perubahan tempat. Dan seluruh hidup seorang filsuf adalah perenungan tentang kematiannya
Romo Mudji menjalani jalan itu dengan pendekatan teologi pembebasan dan kontekstual, menjadikan iman bukan sekadar dogma, melainkan tindakan nyata yang berpihak pada manusia dan kebudayaan.
Ia menolak keterkungkungan iman yang steril, memilih untuk menyeberang ke ranah publik, menguji gagasan di tengah masyarakat, dan menghidupi iman sebagai praksis yang membebaskan.
Kini, kepergiannya meninggalkan ruang kosong yang sulit diisi. Pastor budayawan itu telah pergi, tetapi jejaknya tetap hidup dalam tulisan, gagasan, dan teladan keberanian.
Romo Mudji Sutrisno mengajarkan bahwa iman sejati bukan hanya doa yang dipanjatkan, melainkan tindakan yang mengakar pada realitas, keberanian untuk berdialog dengan budaya, dan kesediaan untuk memanggul salib demi sesama.
Ia telah pergi, Missa pro defunctis, namun warisan budayanya akan terus menjadi cahaya bagi mereka yang mencari makna dalam persimpangan antara religiusitas dan kebudayaan.
#coversongs:
Versi Wolfgang Amadeus Mozart(1756-1791) – Requiem KV626, 8. Lacrimosa oleh Musica in Armonia dirilis pada 4 Juni 2025 melalui DistroKid.
Maknanya, bagian Lacrimosa dalam Requiem: “Lacrimosa dies illa, qua resurget ex favilla…” (“Hari penuh air mata itu, ketika manusia bangkit dari debu untuk diadili”).
Lirik ini menggambarkan ratapan manusia di hadapan kematian dan penghakiman, penuh kesedihan sekaligus harapan akan belas kasih Tuhan.
*Sastrawan dan Penulis Buku





