Channel9.id-Jakarta. Pertumbuhan ekonomi global diproyeksikan melambat dari sekitar 3,0 persen pada 2022 menjadi 1,9 persen pada 2023. Proyeksi ini menandai salah satu tingkat pertumbuhan terendah dalam beberapa dekade terakhir, menurut laporan PBB yang diluncurkan pada Rabu, 25 Januari 2023.
Laporan Situasi dan Prospek Ekonomi Dunia PBB 2023 memperkirakan pertumbuhan global akan meningkat secara moderat menjadi 2,7 persen pada 2024. Peningkatan pertumbuhan pada tahun depan dikarenakan beberapa hambatan ekonomi makro diperkirakan akan mulai mereda tahun depan.
Menurut laporan itu, di tengah inflasi yang tinggi, pengetatan moneter yang agresif dan ketidakpastian yang meningkat, penurunan saat ini telah memperlambat laju pemulihan ekonomi dari krisis Covid-19. Pelambahan ini mengancam beberapa negara – baik maju maupun berkembang – dengan prospek resesi pada 2023.
Momentum pertumbuhan melemah secara signifikan di Amerika Serikat (AS), Uni Eropa, dan negara maju lainnya pada 2022, berdampak buruk pada ekonomi global lainnya melalui sejumlah saluran. Di AS, Produk Domestik Bruto (PDB) diproyeksikan tumbuh hanya 0,4 persen pada 2023 setelah perkiraan pertumbuhan 1,8 persen pada 2022.
Pertumbuhan Cina diproyeksikan akan meningkat secara moderat pada 2023. Dengan pemerintah menyesuaikan kebijakan Covid pada akhir 2022 serta melonggarkan kebijakan moneter dan fiskal. Ekonomi China diperkirakan akan meningkat menjadi 4,8 persen pada 2023, menurut laporan tersebut.
Ini menunjukkan bahwa pengetatan kondisi keuangan global, ditambah dengan dolar yang kuat, memperburuk kerentanan fiskal dan utang di negara-negara berkembang. Sebagian besar negara berkembang melihat pemulihan pekerjaan yang lebih lambat pada 2022 dan terus menghadapi kelonggaran pekerjaan yang cukup besar.
Laporan itu mengatakan pada 2022 jumlah orang yang menghadapi kerawanan pangan akut meningkat lebih dari dua kali lipat dibandingkan 2019 mencapai hampir 350 juta. Pelemahan ekonomi berkepanjangan dan pertumbuhan pendapatan melambat tidak hanya akan menghambat pemberantasan kemiskinan, tetapi juga membatasi kemampuan negara untuk berinvestasi dalam Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030 secara lebih luas.
Laporan tersebut meminta pemerintah-pemerintah menghindari penghematan fiskal yang akan menghambat pertumbuhan dan secara tidak proporsional mempengaruhi kelompok paling rentan, mempengaruhi kemajuan dalam kesetaraan gender, dan menghalangi prospek pembangunan lintas generasi.
Pemerintah direkomendasikan merealokasi dan reprioritas pengeluaran publik melalui intervensi kebijakan langsung yang akan menciptakan lapangan kerja dan menghidupkan kembali pertumbuhan. Kedua kebijakan ini membutuhkan penguatan sistem perlindungan sosial, memastikan dukungan berkelanjutan melalui subsidi yang ditargetkan dan sementara. Transfer tunai, dan diskon pada tagihan utilitas, yang dapat dilengkapi dengan pengurangan pajak konsumsi atau bea cukai.