Oleh: Azmi Syahputra*
Channel.id-Jakarta. Putusan banding atas perkara mantan Sekretaris Mahkamah Agung, Nurhadi ,masih mencederai rasa keadilan publik. Jadi sangat layak bagi jaksa mengajukan kasasi, untuk menguji apakah benar suatu peraturan hukum tidak diterapkan sebagaimana mestinya oleh majelis hakim banding, dengan mengacu pasal 253 KUHAP. Termasuk guna membatalkan putusan pengadilan Banding Nurhadi.
Pasalnya, karakteristik perbuatan Nurhadi dalam melakukan perbuatan korupsi yang sangat sistemik, terencana, dan sengaja malah bekerja sama dengan menantunya untuk ikut menerima suap dan gratifikasi terkait perkara termasuk dalam proses jual beli putusan hakim di Mahkamah Agung.
Ini sangat miris, sebagai orang yang punya jabatan di Mahkamah Agung, malah menyalahgunakan jabatannya bukannya ia menjaga kehormatan lembaga pengadilan. Tetapi justru menjadi pelaku menerima suap, gratifikasi, dan menggunakan uang tersebut untuk kepentingan pribadi dan dalam aksinya berkolaborasi dengan menantunya.
Kalau hukumannya seperti ini, orang semakin tidak takut korupsi. Serasa di penjara pelaku dapat gaji dengan uang suap dan gratifikasi selama ini ia terima”. Apalagi dalam putusan ini tidak pula dikenakan hukuman pembayaran uang pengganti, uang puluhan miliar yang diterima selama ini jadi aman, bisa dipergunakan terdakwa.
Pidana penjara terhadap Nurhadi sebenarnya bisa dijatuhkan lebih berat setidaknya memenuhi tuntutan jaksa 12 tahun. Beberapa hal yang bisa menjadi pemberat adalah, unsur menerima suap, hadiah dan janji yang terbukti di persidangan. Selain itu, Nurhadi dengan jelas dan nyata menyalahgunakan jabatannya sebagai salah satu unsur penyelenggara strategis selaku sekretaris Mahkamah Agung termasuk ia juga berstatus buronan Daftar Pencarian Orang(DPO).
Fenomena vonis lebih tinggi dari tuntutan ini juga pernah terjadi dalam kasus korupsi PT Asuransi Jiwasraya. Jadi sangat bisa perberat terkait hukumannya kalau hakim berani melakukan terobosan hukum, dalam hal ini terkait lamanya putusan pemidanaan badan pada terdakwa mengingat karakteristik perbuatan pelaku.
Jika praktik, peradilan tidak bisa terus memberikan keadilan, sebagaimana diketahui pemangkasan vonis juga pernah terjadi di kasus Jaksa Pinangki. Publik pun semakin sulit berharap pada lembaga peradilan.
Sulit mengharapkan kualitas penegakan hukum kalau pengadilan sebagai benteng terakhir keadilan, tidak lagi menjaga kewibawaan peradilan. Seolah dengan praktik putusan yang ada, lembaga penegak hukum terpeleset dan terjerumus ke dalam praktik kepentingan.
* Ketua Asosiasi Ilmuan Praktisi Hukum Indonesia