Opini

Pelaku Usaha Mikro Juga Kompeten Kok

Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Wacana pandemi covid-19 mulai bergeser dari korban jiwa dan yang terinfeksi ke dampak ekonomi. Terutama mengenai kondisi kehidupan rakyat kebanyakan. Pelaku usaha mikro, kecil dan menengah (UMKM) termasuk yang paling sering disebut.

Presiden Jokowi merasa perlu menyampaikannya secara khusus pada Rapat Terbatas melalui Video Conference pada tanggal 29 April lalu. Dijelaskan beberapa program yang diyakini telah dan akan menjangkau pelaku UKM yang terdampak.

Kementerian Keuangan belum lama ini juga menjelaskan adanya program subsidi bunga bagi kredit ultra mikro dan kredit UMKM, sebagai bagian dari program pemulihan ekonomi nasional (PEN). Alokasi dananya sebesar Rp34,15 triliun, dengan perhitungan penerima subsidi sebanyak 60,66 juta rekening kredit dengan nilai outstanding sebesar Rp1.601,75 triliun.

Selain subsidi bunga, beberapa kebijakan dan program PEN diyakini Pemerintah akan membantu pelaku UMKM. Terlepas dari maksud baiknya, kebijakan Pemerintah terkait UMKM selama ini mengindikasikan suatu kelemahan utama. Yaitu kurang difahaminya aspek perilaku UMKM, terutama usaha mikro, serta stereotype seolah soalan utama adalah kekurangan modal.

Tulisan ini tidak bermaksud menyampaikan kritik atas berbagai kebijakan masa lalu dan program PEN tentang UMKM. Hal tersebut akan ditulis secara terpisah. Saya ingin berefleksi dari pengalaman pribadi di masa lalu.

Ketika menjadi pedagang telur ayam ras pada 28 tahun lalu, saya belajar beberapa hal teknis. Prosesnya butuh waktu dan kesungguhan hati agar dikuasai secara memadai.

Saya menjadi mengerti bahwa telur yang diambil dari peternak bobotnya berkurang dalam sehari. Bahkan akan susut dalam beberapa jam, jika mengambilnya saat benar-benar baru keluar dari ayam. Padahal di beberapa daerah, jual beli telur eceran dilakukan dalam ukuran berat.

Pembeli yang peruntukkan akhirnya membikin kue bolu atau kue sejenis, butuh telur yang cukup baru. Jikapun mereka terlanjur beli, maka mereka akan kecewa dan beli ke tempat lain pada esok hari.

Pembeli yang tak mementingkan kualitas justru lebih senang dengan telur yang sekilonya berisi banyak. Artinya berumur lebih lama.

Pedagang mesti cermat mengatur persediaan telur, agar tahu “umur” masing-masingnya. Perlu waspada pula dengan adanya telur yang secara tak sengaja (mungkin jatuh) di peternak cukup lama. Telur itu tercampur dengan yang baru, karena pedagang sering menandai dari waktu pengambilan dari peternak.

Ada perlakuan khusus atas telur yang pecah selama perjalanan atau penjualan, karena masih memilki nilai untuk dijual. Selalu ada pembeli yang mencarinya jika ditawarkan dengan harga yang lebih murah.

Salah satu aspek yang musti dikuasai oleh pedagang telur adalah pemahaman akan kecenderungan naik turunnya harga. Dalam kasus penulis di Yogyakarta, kenaikan terutama pada musim permintaan telur ras meningkat pesat. Selain hari raya atau natal, ada musim ewuh (terutama acara pernikahan).

Karena umur telur dan aspek penyusutan, tak bisa serta merta menimbun telur begitu saja sebelum musim itu. Begitu pula harus peka akan laju penurunan harganya kembali. Bagi pelaku kecil, teknis menimbun persediaan nyaris tak dimungkinkan, bukan karena soal modal uang saja, melainkan akses kepada peternak. Peternak biasa melakukan “quota” pembelian pada tiap pedagangnya. Sebagian peternak bahkan memiliki kemampuan mengatur persediaan telur yang dijual, atau tak bisa sepenuhnya didikte oleh pedagang. Terutama oleh pedagang eceran berskala kecil.

Diluar soal musiman, kadang ada “manuver” pasar oleh beberapa pelaku. Dari hari ke hari, bahkan dari malam ke pagi atau siang. Ketika penulis mengambil telur sekitar 100 kg di peternak tiap hari (moda sepeda motor, setelah sebulan sempat memakai sepeda dengan daya angkut 70 kg), biasa terjadi komunikasi. Baik antar pedagang, maupun dengan para peternak dalam suatu daerah sentra produksi. Terbentuklah semacam harga acuan.

Namun, sesampainya di pasar, harga kadang tidak sesuai informasi awal, dan sering merugikan penulis sebagai pedagang skala terkecil. Kadang ada yang “ngebom” pasar, karena memiliki persediaan berlebih sebelumnya. Atau kedatangan telur tambahan dari luar kota, diluar kebiasaannya. Padahal, permintaan lokal cenderung terukur dan sudah tercukupi. Dan berbagai aspek teknis dan detil dari perkembangan harga telur ras eceran ini di Jogja, 28 tahun lalu.

Tentu dengan adanya kemajuan teknologi informasi (smartphone), yang terjangkau oleh pedagang telur kini, pola pembentukan harga eceran mengalami perubahan. Namun pada dasarnya tetap ada volatilitas harga yang membutuhkan “feeling” dari pedagang.

Seorang pedagang eceran telur ayam ras sejatinya seperti para broker saham. Untuk berhasil, setidaknya memperoleh untung, mesti memiliki kemampuan membaca pasar jangka pendek. Rajin mencari serta mengolah informasi, dan kadang mesti berspekulasi secara tepat. Bagi yang telah berpengalaman, biasanya tidak terburu bereaksi, jika ada pergerakan harga yang aneh.

Pelajaran yang saya dapat, pekerjaan sebagai pedagang telur ras eceran yang mengambil di peternak saja membutuhkan kerja keras. Butuh kemauan dan kemampuan belajar, serta kesabaran dalam hal-hal detil. Banyak aspek teknis lainnya yang butuh waktu dan ketekunan agar dikuasai. Sebelum itu, mereka akan cenderung tidak untung, bahkan dapat merugi.

Itu hanya salah satu contoh kecil bahwa pelaku usaha mikro di bidang perdagangan eceran saja butuh kompetensi. Apalagi jika bergelut pada sektor produksi. Yang berarti butuh dua kompetensi sekaligus, yaitu berproduksi dan berdagang. Kegiatan produksi mencakup banyak hal detil yang lebih kompleks, termasuk pasokan bahan dan teknologi berproduksi.

Kita dapat menambahkan unsur risiko yang amat besar, dan nyaris tanpa “bantal pengaman” dalam berbagai jenis risiko.

Cerita penulis ini bermaksud mengingatkan bahwa rakyat Indonesia yang menjadi pelaku usaha mikro bukan lah orang bodoh. Salah besar jika mengira usaha mikro tidak membutuhkan SDM berkualitas. Kebanyakan mereka mampu beradaftasi, mereaksi, dan mengambil keputusan yang optimal dengan posisi kurang bagus sekalipun.

Dilihat dari sisi pengambilan kebijakan ekonomi, mestinya mereka bisa dikembangkan serta menjadi sejahtera. Bakat dan pengalaman mereka hanya butuh “lingkungan bisnis yang kondusif”. Pelaku UMKM yang telah bertahun-tahun berjalan dapat dipastikan bukan pemalas dan terbukti mampu belajar dan kemudian kompeten. Kemampuan tersebut mudah saja diubah bentuk teknisnya, semacam pergantian jenis usaha.

Kini saya seorang ekonom jalanan, yang sering “bawa perasaan” jika ada pihak (terutama para pengambil kebijakan) yang perspektifnya dimulai dari “rasa iba”. Kemudian terus menerus mengemukakan “stereotype” usaha mikro itu terutama bermasalah kekurangan modal, serta SDM nya dianggap tak memiliki kompetensi.

Kadang saya ingin berteriak, “kalian belum pernah dilempari telur busuk”.

Pemerintah harus berupaya ekstra keras, lebih dari biasanya, untuk “membantu” mereka pada era pandemi. Namun jangan keliru cara, yang dimulai dari kesalahan asumsi. Dan alokasi subsidi bunga program PEN terindikasi demikian.

Semangat lah para pelaku usaha mikro Indonesia. Kalian bukan hanya berjuang untuk diri dan keluarga, melainkan penyelamat ekonomi negeri. Doa saya selalu teriring bagi kesehatan, keselamatan dan kesejahteraan kalian.

*Kepala Ekonom Institut Harkat Negeri

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

18  +    =  21