Channel9.id – Jakarta. Jurnal Prisma meluncurkan edisi khusus ‘Seratus Tahun Soedjatmoko’ di Rumah Soedjatmoko, Jakarta Pusat, Jumat 13 Januari 2023.
Redaktur Jurnal Prisma Rahadi Teguh Wiratama mengatakan, Koko – panggilan akrab Soedjatmoko – adalah tokoh intelektual yang mencanangkan paradigma kebebasan dan kemanusiaan dalam pembangunan.
“Gagasan tersebut disampaikan di era ketika otoritarianisme Orde Baru menguat dan secara tidak langsung mengambarkan pandangan kritis terhadap pemerintahan Orde Baru,” kata Rahadi.
Baca juga: Daniel Dhakidae Meninggal Dunia
Prisma, kata Rahadi, pernah menerbitkan nomor ekstra yang mengundang Koko sebagai redaktur tamu pada 1973.
“Salah satu isinya, menghadirkan tokoh-tokoh dunia yang merefleksikan krisis pembangunan dan krisis kapitalisme,” kata Rahadi.
Rahadi menyampaikan, dalam nomor ekstra itu, Koko sebetulnya mengkritik ekses-ekses pembangunan Orde Baru yang bertumpu pada ekonomi semata.
“Khususnya pembangunan ekonomi yang berbasis material,” ujar Rahadi.
Rahadi menambahkan, pemikiran Koko melawan arus pemikiran pembangunan ekonomi Orde Baru. Sehingga, buku-buku Koko menjadi bahan bacaan para aktivis mahasiswa era Orde Baru. Di antaranya buku ‘Dimensi Manusia Dalam Pembanguan’ dan ‘Pembanguann dan Kebebasan’.
“Betapa sebetulnya Soedjamotko agak melawan arus dari sisi pemikirannya. Oleh karena itu, humanisme dan kebebasan yang dicanangkan Koko selalu menginspirasi kita,” kata Rahadi.
Rahadi menambahkan, Pemikiran Koko juga mengajak untuk berpikir ulang menanggapi masalah-masalah pembanguan terutama terkait kebebasan dan pembangunan.
Presiden Pergerakan Disabilitas dan Lanjut Usia (DILANS Indonesia) Farhan Helmy membenarkan bahwa pemikiran Soedjatmoko menginspirasi aktivis mahasiswa di era Orde Baru. Farhan mengakui bahwa saat menjadi aktivis mahasiswa ITB 1980an, seniornya memperkenalkan buku-buku karya Soedjatmoko sebagai pisau analisa dalam melihat masalah pembangunan Orde Baru.
Farhan pun mengatakan, pemikiran Soejatmoko terkait pembangunan yang bertumpu kepada kemanusiaaan masih relevan dengan kondisi hari ini.
Pria yang tidak lagi bisa berjalan akibat kecelakaan pada 2016 ini menilai, saat ini negara tidak hadir dalam memberikan pembangunan yang ramah untuk kelompok disabilitas dan lanjut usia. Pemerintah mengesampingkan kelompok termarginalkan ini dalam rencana pembangunan.
“Negara itu tidak ada. Seharusnya kalau manusia bagian dari pembangunan, mestinya bukan sekedar objek dari pembangunan. Bukan pula naratif yang sakarang didengungkan seperti no one left behind. Harusnya ada pikiran nothing about us without us. Jadi penentu kebijakan tidak bias ngomong kebijakan untuk kita,” lanjutnya.
Farhan menjelaskan, sebanyak 23 juta orang dari 1 miliar difabel berada di Indonesia. Sayangnya, pemerintah seolah tidak melihat kenyataan itu. Para teknorat tidak memiliki fondasi etis yang kuat sehingga tidak memiliki keberpihakan terhadap kelompok disabilitas dan lansia.
“Oleh karena itu, pemikiran Koko jadi semakin relevan dalam kekinian di Indonesia yakni terkait isu soal keadilan, isu diskriminasi, dan soal inklusifitas,” ucap Farhan.
HY