Channel9.id – Jakarta. Pengasuh Pesantren Cendekia Amanah Depok M Cholil Nafis menilai, RUU Haluan Ideologi Pancasila (HIP) seharusnya ditunda pembahasannya atau sama sekali dihapuskan pembahasannya di masa yang akan datang.
Pasalnya, pembahasan RUU HIP sudah memancing kecurigaan antar anak bangsa sehingga berpotensi jadi perpecahan.
“Urgensinya pun belum pada taraf dharurut karena kita sudah punya perangkat konstitusi dan beberapa TAP MPR yang bisa menjadi acuan hidup berbangsa dan bernegara berdasarkan Pancasila,” kata Cholil dalam rilis yang diterima, Selasa (16/6).
Kecurigaan tersebut timbul karena ketidakcakapan drafting RUU HIP dalam melihat dan merasakan denyut nadi kebangsaan Indonesia dan pokok-pokok isi Pancasila. Tentu hal ini telah memancing gejolak umat dan ormas Islam.
“Semua ormas mendeklarasikan penolakan darft RUU HIP ini dengan berbagai argumentasinya. Bahkan pemerintah melalui suara Menkopolhukam punya persepsi yang sama untuk mengubah dan mungkin bahkan menolaknya jika RUU itu hendak akan diteruskan dalam pembahasan,” katanya.
Cholil menegaskan, semua ormas Islam sepakat, RUU HIP cacat hukum dan cacat interpretasi. Mereka menilai, RUU Haluan Ideologi Pancasila perspektifnya dan tafsirnya tak sesuai dengan dasar negara Indonesia.
“Ia punya haluan sendiri yang berbeda dengan polok-pokok haluan Pancasila yang original,” kata Cholil.
Cholil menyatakan, ada tiga hal pokok dan mendasar yang fatal dari RUU tersebut.
Pertama, Konsiderang itu tak memuat TAP MPRS Nomor XXV/MPRS/1966 tentang Larangan Ajaran Komunisme/Marxisme.
“Padahal inilah dasar utama dalam membicarakan bagaimana pancasila menjaga titik persatuan dan menolak kekejamam,” kata Cholil.
“Tak mungkin akan bicara ideologi Pancasila tanpa berpijak pada sejarah dimana Pancasila pernah dicoba untuk diganti dengan komunisme. Peristiwa itulah yang melahirkan peringatan hari kesaktian Pancasila. Itulah sejarah bangsa yang mempertahankan ideologi Pancasila sebaga titik temu (kalimatu sawa’) para anak bangsa,” sambungnya.
Kedua, RUU HIP pada pasal 7 ayat 2 berbunyi, “…. Ketuhanan yang berkebudayaan”. Frase ini sungguh dilematis karena mengganti nilai-nilai ilahiyah dan fundamental keyakinan masyarakat yang transenden dan sakral dengan nilai kebudayaan manusia yang relatif dan provan.
“Frase itu pasti tak akan berujung polemiknya. Sebab umat Islam yang telah rela menghapus Piagam Jakarta saat pendirian bangsa ini tak akan rela melepaskan kata sakral di sila pertama, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa. Sebab frase pasal 7 RUU HIP itu berpotensi mengubah negara ini berputar haluan jadi negara sekuler,” tegasnya.
Ketiga, memeras Pancasila menjadi tri atau ekasila menjadi bertentangan dengan Pancasila yang seutuhnya. Sebab negara ini hanya bertitik tekan pada masalah sosial dan politik. Bahkan hanya fokus pada soal gotong royong.
“Padahal negara ini meliputi banyak hal untuk dijiwai oleh Pancasila, bhineka dari aspek keagamaan, kesukuan dan kemasyarakatan menjadi tunggal ika. Aspek pertahanan dan keamanan harus dijawai oleh Pancasila. Bahwa tak sejengkal pun negeri ini tak boleh dicaplok dan dikuasai oleh negara lain. Kedaulatan negara dan seisi alam kekayaannya harus dikuasai oleh negara,” kata Cholil.
Oleh karena itu, perlu langkah konsolidasi antar anak bangsa untuk bersama menjaga NKRI berdasarkan Pancasila dan menolak ideologi lain seperti komunis dan marxisme.
“Dalam waktu dekat seluruh komponen bangsa perlu melakukan pertemuan. Seperti NU, Muhammadiyah dan antara ormas Islam dengan pemerintah untuk membangun soliditas menjaga persatuan dan merawat negara berdasarkan Pancasila,” kata Cholil.
(HY)