Channel9.id – Jakarta. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) menanggapi keputusan pembukaan sekolah tatap muka di kawasan zona kuning covid-19 sesuai SKB 4 Menteri yang baru.
Wasekjen FSGI Satriwan Salim menilai, keputusan tersebut merupakan cermin kebijakan pendidikan yang paradoks.
“FSGI menilai ini merupakan potret kebijakan pendidikan yang paradoks. Di satu sisi angka statistik penyebaran covid-19 di Indonesia makin tinggi, tetapi di sisi lain kebijakan pendidikan membuka sekolah makin longgar. 1 bulan lalu sekolah hanya boleh dibuka di zona hijau, itu pun secara bertahap. Tapi sekarang justru di zona kuning pun diperbolehkan,” kata Satriwan dalam keterangan pers, Senin (10/8).
FSGI mencatat, ada ratusan siswa dan guru baik di sekolah maupun pesantren, yang positif covid-19 sampai 10 Agustus. Satriwan menjelaskan rincian data tersebut.
“28 guru dari 2 sekolah di Kota Balikpapan positif covid-19 (terbaru), 35 santri dari pesantren di Kab. Pati positif covid-19 (terbaru), 4 guru di Kota Surabaya, 2 siswa di Kab. Sumedang, 2 siswa di Kab. Sambas, 2 guru di Kota Pariaman, 1 siswa di Kota Sawahlunto, 1 siswa di Kab. Tegal, 1 siswa di Kota Tegal, 1 guru di Kota Solo, 1 guru meninggal positif covid-19 di Kab. Madiun, 1 guru di Kota Madiun, 50 santri di Ponpes Gontor 2 Kab. Ponorogo, 5 pengajar (ustaz) di Ponpes Kota Tangerang, 1 pengajar (ustaz) dan 6 santri di Kab. Wonogiri, dan 3 santri di Ponpes Kab. Pandeglang,” jelas Satriwan.
Karena itu, FSGI meminta pembelajaran tatap muka diganti dengan Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) untuk melindungi keselamatan siswa dan guru. Meskipun PJJ memunculkan banyak kendala, khususnya secara teknis.
Laporan pelaksanaan PJJ Fase I (Maret-Juni) dan PJJ Fase II (Juli-Agustus) yang diterima FSGI dari dan jaringan di daerah, persoalan teknis PJJ yang dihadapi persis sama.
“Misalnya, tidak ada jaringan internet di wilayahnya; adapun internet sinyalnya buruk; siswa dan guru tak punya gawai pintar; persoalan jaringan listrik; metode guru kunjung tak optimal karena faktor geografi dan akses ke rumah siswa yang jauh atau sulit ditempuh; orang tua tak bisa optimal mendampingi anak selama PJJ; penugasan bagi siswa dari guru menumpuk; tertinggalnya materi pembelajaran siswa; pengeluaran orang tua membeli kuota internet meningkat (bahkan ada yang sampai 500 ribu/bulan); dan ada beberapa wilayah seperti Bengkulu, Kalimantan Timur, dan Kab. Malang yang kepala sekolahnya belum merealokasikan Dana BOS untuk subsidi kuota internet siswa dan guru,” ujarnya.
Kendati begitu, PJJ bisa menjamin keselamatan siswa dan guru. Mengingat, hak hidup dan hak sehat bagi anak, guru, tenaga kependidikan, dan orang tua adalah yang utama.
“Merujuk kepada Konvensi PBB tentang Anak, bahwa anak memiliki hak hidup dan hak memeroleh kesehatan. Mendapatkan pendidikan juga menjadi hak anak. Namun mesti diingat bahwa, anak yang bisa belajar dan mendapatkan pendidikan adalah anak yang hidup dan sehat. Ketika anak masuk sekolah di zona kuning, maka jelas jika kehidupan, nyawa, dan kesehatannya sedang terancam. Bagaimana anak akan memeroleh pendidikan dan pembelajaran jika kesehatan dan jiwanya terancam covid-19. Demikian lanjut Satriwan yang merupakan guru SMA swasta di Jakarta Timur,” ujarnya.
Dalam hal ini, FSGI meminta pemerintah pusat dan daerah seharusnya lebih dulu membenahi persoalan PJJ itu semua. Koordinasi dan komunikasi yang intens dan solutif lintas kementerian, lembaga, dan Pemda adalah kuncinya.
“Leading sector ada di Kemdikbud, bersama dengan Kemenag; Kemen Desa dan PDT; Kemen BUMN; Kemenkominfo; Kemdagri; dan Pemda-pemda,” katanya.
Karena itu, tidak optimalnya pusat dan daerah menyelesaikan pelayanan terhadap proses PJJ yang sudah 2 fase ini, harusnya bukan menjadi alasan sekolah di zona kuning dibuka kembali. Sebab risiko nyawa dan kesehatan anak, guru, dan orang tua lebih besar ketimbang tertinggal dan tak optimalnya layanan pendidikan bagi anak selama PJJ.
(HY)