Channel9.id, Jakarta – Nilai tukar rupiah kembali turun setelah sempat menguat dan menjauhi angka 15.000 beberapa waktu lalu. Pagi ini, rupiah dibuka di level Rp 14.525 per dolar Amerika Serikat (AS) atau melemah tipis dibanding penutupan perdagangan kemarin di 14.520 per dolar AS.
Deputi Gubernur Senior Bank Indoneasia (BI), Mirza Adityaswara mengungkapkan, ada beberapa faktor yang mendorong pelemahan nilai tukar rupiah menjelang akhir pekan ini.
“Penyebabnya terjadi di global faktor,” kata Mirzha saat dijumpai di Mesjid Kompleks BI, Jakarta, Jumat (7/12/2018).
Akan tetapi, dia menegaskan pelemahan nilai tukar ini bukan hanya dialami oleh Indonesia, melainkan hampir di seluruh negara berkembang.
Mirzha menjelaskan, pada awalnya nilai tukar rupiah dan beberapa mata uang negara lain sempat menguat berkat isu perang dagang antara AS dan China yang disebutkan akan segera berakhir. Hal itu ditandai dengan menurunnya tensi atau ketegangan perang dagang setelah adanya pertemuan antara kedua pemimpin negara yaitu Donald Trump dan Xi Jinping.
“Negara-negara berkembang pada saat itu ada harapan bahwa perang dagang AS dan China itu mereda. Karena pada pertemuan G20 tersebut tapi kemudian ternyata perang dagang AS dan China ini belum mereda,” ujar dia.
Pada kenyataanya, situasi perang dagang masih memanas. Terlebih setelah Otoritas Kanada dikabarkan menangkap putri dari pendiri raksasa telekomunikasi China Huawei, atas permintaan penegak hukum Amerika Serikat (AS). Meng Wanzhou, yang menjabat sebagai Kepala Bagian Keuangan dan Wakil Direktur Huawei, ditangkap di Kota Vancouver, Kanada, pada 1 Desember 2018 lalu.
“Salah satu yang diinterpretasikan oleh pasar bahwa perang dagang belum mereda adalah ditangkapnya putri direktur Huawei di Kanada dan akan diekstradisikan di AS, itu juga mencerminkan bahwa perang dagang AS dan China belum mereda,” ujar dia.
“Dan memang perang dagang ini kemudian dikhawatirkan oleh pasar dan akan makin memperlambat pertumbuhan ekonomi dunia,” dia menambahkan.
Dia menyatakan, kekhawatiran yang saat ini tengah dialami pasar adalah akan adanya aksi melemahkan atau mendepresiasi nilai tukar Yuan oleh China. Yang tentu saja akan berdampak pada negara-negara berkembang.
“Dikhawatirkan bisa membuat depresiasi kurs negara-negara emerging market. Itu terkait pelemahan kurs dalam tiga hari terakhir,” ujar dia.