Channel9.id – Jakarta. Kabid Advokasi Guru Perhimpunan untuk Pendidikan dan Guru (P2G) Iman Zanatul Haeri menyampaikan, pihaknya bingung alasan Kemendikbud tetap menggunakan Programme for International Student Assessment (PISA) sebagai tolak ukur keberhasilan dan pencapaian kualitas pendidikan di Indonesia.
Padahal di 2014, sebanyak 80 akademisi dari berbagai negara di dunia sudah membuat surat pernyataan bahwa PISA tidak layak dijadikan ukuran serta menolak penerapannya dalam dunia pendidikan.
Salah satu alasannya, PISA diinisiasi oleh lembaga internasional yang bukan bergerak dalam dunia pendidikan melainkan bergerak dalam bidang ekonomi. Lembaga yang dimaksud yakni Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD).
“OECD sebagai penyelenanggara PISA memiliki bias ekonomoni yang fokus pada pasar kerja. OECD juga tidak memilik mandat jelas seperti UNESCO dan Unicef untuk membantu pendidikan dan nasib anak di seluruh dunia. OECD adalah lembaga pembangunan ekonomi,” kata Iman dalam Webinar Catatan Akhir Tahun Pendidikan, Minggu 28 Desember 2020.
Belum lagi, OECD tidak memiliki kedudukan moril yang baik sebab secara resmi bermitra dengan perusahaan multinasional. Hal itu menunjukan bahwa fokus OECD menyelenggarakan layanan pendidikan berdasar pada komersil nirlaba seperti yang terjadi di Afrika.
Di samping itu, PISA justru meningkatkan ketergantungan penilaian pendidikan pada model evaluasi kuantitatif.
“Ini juga aneh. Bagaimana mungkin kita berpihak kepada anak kalau penilaianya kuantitatif. Saya yang pernah terlibat pembuatan Asesmen Kompetensi Minimum (AKM), saya tahu endingnya tetap kuantitatif. Ini bagaimana prosesnya untuk mengukur kualitatif tapi hasilnya tetap kuantitatif,” ujar Iman.
Selain itu, siklus penilaian tiga tahun PISA menyebabkan perbaikan pendidikan hanya fokus pada jangka pendek. Padahal, visi pendidikan seharusnya berjangka panjang.
Iman menambahkan, PISA juga hanya membuat negara di dunia berlomba-lomba untuk mendapatkan rangking terlepas dari kebutuhan pendidikan negara masing-masing.
“Melihat hal itu, tentu ini akan membahayakan bagi pendidikan di Indonesia. Siklus pengujian yang dilakukan terus-menerus akan merugikan siswa, memiskinkan kelas, menambah pelajaran adaptif PISA dan berkurangnya otonomi siswa,” pungkasnya.
(HY)