TePi kritik KPU
Nasional

Pengamat: KPU Lindungi Elite Politik Lewat Penutupan Dokumen Pemilu

Channel9.id, Jakarta – Koordinator Komite Pemilih Indonesia (TePI), Jeirry Sumampow, menilai Keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU) RI Nomor 731/2025 sebagai kemunduran serius dalam penyelenggaraan demokrasi di Indonesia.

Keputusan tersebut, yang dikeluarkan sebulan lalu, mengatur penutupan 16 dokumen pendaftaran capres-cawapres selama lima tahun. Padahal, menurut Jeirry, keputusan ini justru keluar jauh setelah pemilu selesai dan langsung memicu kontroversi publik.

“Keputusan KPU ini melanggar prinsip fundamental pemilu yang dijamin konstitusi maupun norma internasional, seperti transparansi, akuntabilitas, kesetaraan, dan partisipasi publik,” ujar Jeirry dalam keterangannya, Senin (15/9/2026).

Jeirry menjelaskan, prinsip transparansi menuntut semua syarat pencalonan bisa diakses publik. Namun, dengan menutup dokumen penting seperti ijazah, laporan pajak, dan LHKPN, KPU justru menghalangi publik memeriksa integritas kandidat.

“Ini pelanggaran berat, apalagi dilakukan langsung oleh KPU,” tegasnya.

Selain itu, prinsip akuntabilitas pun tercederai karena KPU menutup akses terhadap dokumen yang seharusnya bisa menjadi bahan pengawasan masyarakat. Menurutnya, langkah ini juga menciptakan dugaan adanya standar ganda dan keberpihakan kepada calon tertentu, terutama pasangan pemenang pemilu.

Jeirry menilai ada sejumlah kemungkinan alasan KPU menerbitkan keputusan ini setelah pemilu usai, di antaranya: melindungi reputasi atau menghindari risiko hukum terkait dokumen calon, adanya tekanan politik dari elite, kesalahan interpretasi terhadap UU KIP, atau upaya membatasi potensi sengketa pasca-pemilu.

“Publik bisa makin curiga bahwa keputusan ini terkait dengan isu ijazah Wakil Presiden terpilih yang kini ramai dipersoalkan,” ujarnya.

Lebih jauh, Jeirry menduga keputusan KPU bisa jadi ditujukan untuk melindungi: pasangan calon presiden-wakil presiden tertentu, KPU sendiri dari kemungkinan lalai memverifikasi syarat calon, atau elite politik yang berkepentingan dengan stabilitas kekuasaan.

Untuk itu, Jeirry menyampaikan sejumlah tuntutan, antara lain agar KPU segera mencabut keputusan tersebut, publik mengajukan sengketa informasi ke Komisi Informasi Pusat (KIP), DPR memanggil KPU untuk meminta penjelasan, serta Bawaslu mengkaji kemungkinan membawa kasus ini ke Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP).

“Keputusan ini bukan sekadar prosedural. Ia berimplikasi langsung pada legitimasi demokrasi dan kepercayaan rakyat terhadap hasil pemilu,” tegas Jeirry.

Menurutnya, langkah hukum, advokasi publik, hingga tekanan politik perlu dilakukan agar demokrasi tidak semakin tersubordinasi oleh kepentingan elite.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +  4  =