Channel9.id-Jakarta. Pengamat Pendidikan Universitas Negeri Jakarta, Abdullah Taruna menilai, kebijakan Program Organisasi Penggerak (POP) dan Merdeka Belajar Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) dilandasi oleh bathi atau motif mencari keuntungan sebanyak-banyaknya.
Sehingga, kata dia, wajar tiga lembaga besar seperti NU, Muhammadiyah, dan PGRI mengundurkan diri dari POP.
Landasan bathi tersebut, menurut Abdullah, menghasilkan keputusan yang tidak berdasarkan demokratis.
“Saya ragu ini dilakukan secara demokratis, tetapi itu tidak lebih daripada klik Pak Menteri dengan orang-orang di sekelilingnya dan jaringan-jaringan beliau,” ujarnya dalam acara Bincang Aspirasi Rakyat bertema “Konsep Merdeka Belajar Mau Kemana?” yang diselenggarakan NU TV 164 Channel pada Kamis (30/07).
Abdullah juga menilai, kebijakan POP diputuskan atas dasar rasionalitas semu. Menurut dia, program Mendikbud ini mengakibatkan banyak pemborosan dan kerusakan.
“Program-program Pak Menteri ini memicu entropi, dalam istilah termodinamika, bahwa tidak semua energi bisa diubah menjadi kegiatan yang menghasilkan. Semakin banyak entropinya semakin banyak pemborosannya, semakin banyak akibat kerusakannya,” kata Koordinator Forum Pedagogik (FDP) IKA UNJ itu.
Selain itu, dia mengatakan, program ini adalah program tambal-sulam yang dari sisi kebijakan tidak sinkron dan terkonsolidasi dengan baik.
Padahal, menurutnya, berdasarkan UU No 12 tahun 2012 yang memiliki amanat untuk mendidik calon guru adalah Lembaga Pendidikan dan Tenaga Kependidikan (LPTK).
“LPTK pada 1984 di era Dirjen Dikti Sukaji ditinggalkan ketika kementerian mendirikan program PGSD yang didanai World Bank. Karena kebijakan rasionalitas semu ini, maka program ini pun gagal. Kenapa rasionalitas semu, sebab yang mengeluarkan kebijakan tidak ngerti ilmu pendidikan,” tambah Abdullah.
Dia mengatakan, tak sedikit kritik terhadap POP dan merdeka belajar dari berbagai kalangan, harusnya membuat Nadiem Makarim kembali menengok ajaran Ki Hajar Dewantara mengenai konsep manusia merdeka yang harus berolah rasa dan berolah batin untuk introspeksi diri.
“Dia harusnya kumpulkan dong persoalan pendidikan dari sejak kemerdekaan sampai hari ini itu apa saja. Diteliti, dimaping dan diteropong, oh ada kebijakan yang tambal sulam. Harusnya dihentikan dong,” jelasnya.
Apalagi, kata Abdullah, program POP dan Merdeka Belajar ini baru sebatas konsep atau draft. Disamping itu, ia menilai, secara konsep Merdeka Belajar Mendikbud ini sebetulnya tidak dilandasi model ilmu pendidikan Ki Hajar Dewantara.
“Belajar sajalah kepada pesantren jika ingin model pendidikan Ki Hajar Dewantara. Dengan (kitab) Ta’lim Muta’alimnya itu membangun relasi antara guru dan murid yang berbasis cinta. Cinta terhadap guru dan pengetahuan. Kemudian menghasilkan pembelajaran yang baik. Ingat, Kyai Abdurahman Wahid, Kyai Wahid Hasyim itu lulusan pesantren dan menjadi manusia yang mulia,” pungkasnya.
IG