Channel9.id – Jakarta. Pengamat BUMN dari Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (FEB UI) Toto Pranoto menyampaikan, efektivitas penyaluran subsidi bahan bakar minyak (BBM) dan LPG 3 Kg perlu ditinjau ulang supaya bisa menyasar kelompok masyarakat yang membutuhkan.
Toto mempertanyakan, apakah 40 juta masyarakat miskin sudah mendapatkan subsidi energi tersebut mengingat masih banyak kendala dalam penyaluran yang dihadapi.
“Misalnya ada kendala infrastruktur (pelabuhan dan jalan kurang layak, cost of delivery menjadi mahal), kendala teknis dalam pengangkutan (bunker dan kapal angkut yang sudah tua, keterbatasan pasokan sarana angkutan), serta kendala iklim dan geografis yang cepat berubah memberikan ketidakkastian,” ujar Toto dalam Webinar SUKSE2S bertajuk Generating Stakeholders Support for Achieving Effectiveness of Fuel and LPG Subsidies di Jakarta, Rabu 29 Juni 2022.
Baca juga: E2S: Subsidi BBM dan LPG Tidak Tepat Sasaran, Perlu Payung Hukum yang Tegas
Supaya lebih tepat sasaran, banyak studi yang menyarankan subsidi langsung diberikan kepada masyarakat. Mekanisme itu dinilai lebih baik dibandingkan mekanisme saat ini. Namun, menurut Toto, penyaluran langsung juga akan mengalami masalah apabila data penerima subsidi tidak akurat.
Di samping itu, efektivitas penyaluran subsidi perlu ditinjau ulang karena terjadi tren kenaikan subsidi energi tiap tahunnya. Tren kenaikan itu dinilai bisa menambah beban ekonomi nasional.
Pada 2021 saja, realisasi subsidi energi yakni sebesar Rp131,5 triliiun. Jumlah itu terdiri dari subsidi BBM dan LPG sebesar Rp83,7 triliun dan subsidi listrik sebesar Rp47,8 triliun. Semua angka itu dibebankan kepada APBN. Menurut Toto, tren kenaikan itu dapat menyulitkan situasi perekonomian nasional ke depannya.
“Pertamina sebagai operator perusahaan negara yang diberikan mandat untuk mengelola ini juga terkena dampaknya. Dari sisi laporan keuangan pertamina 2020-2021, memang dari segi revenue mengalami peningkatan demikian pula dalam sisi income,” kata Toto.
“Tapi kita juga petlu melihat dari sisi cost of sales (biaya penjualan) dan operating expensesnya (biaya operasional) juga meningkat cukup tajam. Jauh lebih tinggi dibandingkan data peningkatan revenue,” lanjutnya.
Berdasarkan data itu, terlihat beban terhadap impor bahan baku BBM menjadi sangat luar biasa besar. Ini punya implikasi ada ongkos besar yang harus dikeluarkan Pertamina. Dalam konteks ini, seberapa jauh subsidi yang diberikan negara bisa dibayar tepat waktu.
“Kalau lihat angkanya di Desember 2020 sama dengan 2021 maka piutangnya Pertamina lumayan besar hampir US$5,87 miliar. Jadi memang ini bukan perkara mudah, ini akan memberikan dampak kepada pengelolaan perusahaan,” kata Toto.
Menurut Toto, masalah-masalah itu tidak bisa menjadi beban Pertamina saja. Oleh karena itu, perlu dicari solusi ke depan supaya beban korporasi negara itu bisa dikurangi. “Serta bagaimana kebijakan yang lebih tepat supaya subsidi energi tidak menjadi beban berkepanjangan,” ujar Toto.
Toto pun mencontohkan kebijakan India dalam mengelola subsidi energi. Berdasarkan data global subsidies initiative (gsi) 2021, pada periode awal 2020, India tidak melakukan penurunan harga saat harga BBM sedang rendah. Justru, India meningkatkan harga supaya PPN dapat lebih besar.
Dalam konteks ini, masyarakat kaya melakukan subsidi silang untuk membantu masyarakat miskin. Kebijakan subsidi silang ini dianggap cukup berhasil. Selama 9 bulan dijalankan, India memperoleh hampir US$19,2 miliar. “Ini saya kira sangat membantu melindungi kelompok miskin dan rentan,” kata Toto.
Di samping itu, Toto menyarankan supaya pemerintah mengeluarkan program-pogram inisiatif supaya subsidi bisa lebih tepat sasaran. Pemerintah juga bisa membuat peraturan penggunaan energi alternatif seperti penggunaan kompor industri listrik untuk kelompok berpenghasilan menengah ke atas.
Selanjutnya bisa melakukan hilirasi batu bara menjadi dimetil eter (DME) supaya mengurangi impor LPG yang terus meningkat.
“Atau misalnya pembangunan jaringan gas kota diperluas dengan target lebih masif dan menjadi efisien dibandingkan menggunakan LPG 3Kg. Juga dalam konteks layanan untuk masyarakat berpenghasilan rendah di level paling bawah, negara bisa memberikan pelayanan KIT lebih luas terutama untuk nelayan, petani kecil, dan masyarakat berpenghasilan paling bawah,” kata Toto.
HY