Channel9.id-Jakarta. Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan kondisi perekonomian dunia sudah resesi dan mulai masuk pada potensi depresi akibat pandemi Covid-19. Dampak wabah virus corona tidak hanya berdampak pada ekonomi, tetapi juga sosial.
“Pandemi ini telah mengubah cara hidup dan berimplikasi signifikan pada kondisi ekonomi dan sosial. Ekonomi mulai masuk pada resesi, bahkan ada potensi depresi,” kata Sri Mulyani Indrawati, Rabu, 1 Juli 2020.
Sri Mulyani mengatakan bahwa pandemi Covid-19 telah menghilangkan progres dari upaya yang dilakukan pemerintah selama beberapa tahun terakhir, terutama mengenai kemiskinan dan kesejahteraan rakyat. “Indonesia, misalnya mengalami kemunduran pada pengentasan masyarakat dari kemiskinan sekitar lima tahun karena pandemi yang berjalan selama enam bulan,” ujarnya.
Tak hanya itu, Sri Mulyani menuturkan bahwa pandemi ini berdampak pada perekonomian negara secara signifikan yang berarti sumber pendanaan untuk mencapai tujuan akan tertahan.
“Pendapatan dari perpajakan turun karena semua aktivitas ekonomi terkontraksi dan pada saat yang sama kebutuhan untuk kesehatan, jaring pengaman sosial, serta stimulus untuk mengembalikan ekonomi naik cukup dramatis,” kata dia.
Terlebih lagi, dia menegaskan bahwa pandemi telah mampu menyerang segmen terbawah, yaitu sektor informal, usaha mikro kecil dan menengah (UMKM), sampai masyarakat miskin. Desain pemulihan ekonomi Indonesia, lanjut Sri Mulyani, menitikberatkan pada kelas bawah.
Sri Mulyani menyatakan bahwa pandemi Covid-19 telah memaksa pemerintah untuk meningkatkan defisit dari 1,7 persen terhadap PDB menjadi 6,3 persen. “Naik signifikan. Beberapa negara defisit di ruang fiskalnya, bahkan sudah melebihi batas. Akan tetapi, Indonesia beruntung karena punya defisit lebih rendah. Jadi, semua negara menghadapi masalah yang sama,” ujarnya.
Di sisi lain, lanjut Sri Mulyani, bantuan pembiayaan dari lembaga multilateral itu belum memadai karena kebutuhan untuk menangani dampak pandemi Covid-19 lebih besar. “Saya mengapresiasi beberapa institusi multilateral yang merespons cepat dengan menyediakan pembiayaan. Akan tetapi, itu tidak memadai karena pembiayaan lebih besar dibanding yang telah disediakan oleh institusi multilateral,” katanya.
Bantuan yang belum memadai itu pada akhirnya memaksa berbagai negara berkembang dan berpendapatan rendah berlomba untuk menerbitkan surat utang di pasar global.