Techno

Perkuat Literasi Digital untuk Mencegah Kejahatan Siber

Channel9.id-Jakarta. Internet bak dua sisi mata uang. Di balik segala kemudahan yang didapat, tuntutan keamanan internet menjadi sangat krusial saat ini.

Hasil riset We Are Social menyebut pengguna internet di Indonesia tahun 2020 sebanyak 175,4 juta pengguna, artinya dua per tiga penduduk Indonesia telah tersambung dengan internet.

Tentunya pemahaman pentingnya keamanan dan perlindungan data pribadi dari tangan jahil menjadi amat penting. Hal ini dikupas dalam Dialog Khusus “Keamanan Dunia Nyata VS Dunia Maya”, Jumat, 17 Juli 2020.

Kombes Pol. Muhammad Nuh Al-Azhar, Ketua (DFAT) Pusat Laboratorium Forensik Bareskrim Polri, mengatakan sejatinya risiko kejahatan siber tak bias dihindari maka setiap pengguna internet harus memahami risiko yang ada.

Ancaman bias datang baik dari pihak luar (outsiders), seperti Web Phishing akibat meng-klik tautan secara sembarangan. Atau bias ancaman dari dalam (insiders), seperti kasus peretasan akun Twitter Barrack Obama, hacker bias mengakses software internal Twitter dalam hitungan jam.

“Sekali kita menggunakan internet maka status kita adalah calon korban, kita tak hati-hati akan jadi korban atau bias jadi pelaku kalau kita posting hal yang melanggar undang-undang di media sosial. Ini yang namanya public awareness. Dalam menangkal kejahatan siber, dua factor penting adalah cyber security dan digital forensik,” katanya.

Agar terhindar dari kejahatan siber salah satu upaya yang bias dilakukan, yakni memasang antivirus di gadget, membuat kombinasi password yang rumit, dan berhati-hati jika menggunakan koneksi internet di ruang publik.

Tak hanya itu, kehati-hatian dan pemahaman juga diperlukan saat menggunakan e-commerce atau aplikasi pembayaran digital.

Enda Nasution, Koordinator Gerakan #BijakBersosmed mengatakan celah kejahatan siber bias saja muncul jika pengguna sembarangan memberi data pribadi maka literasi digital harus dibangun mulai dari diri sendiri,

“Ini membuka potensi celah transaksi penipuan makin besar dan kebocoran data. Tak hanya soal digital literasi, tetapi juga konsumen literasi. Perlu ada semacam pendidikan untuk konsumen secara khusus, terutama melibatkan industry atau pihak yang mendapat keuntungan dari digital economy,” tutur Enda.

Dari sisi regulasi, sebenarnya sudah banyak peraturan ditambah lagi Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), tetapi itu belum cukup kuat. Dirjen Aplikasi Informatika Kementerian Komunikasi dan Informatika RI, Samuel Abrijani Pangerapan, mengatakan perlu aturan yang lebih komprehensif sebagai paying hukum.

“Sekarang tidak ada kekosongan hukum. Regulasinya ada, tetapi kita perlu satu regulasi primer yang mengatur menyeluruh. UU ITE memuat hal itu, tetapi belum memadai maka kita dorong RUU Perlindungan Data Pribadi untuk diselesaikan,” tandasnya. (IG)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6  +  3  =