Hot Topic Politik

Perludem: Menunda Pemilu 2024, Strategi Memperpanjang Masa Jabatan Presiden

Channel9.id – Jakarta. Wacana penundaan pemilu 2024 dianggap sebagai salah satu strategi populer selain amandemen UUD untuk memperpanjang masa jabatan presiden.
Pernyataan itu disanpaikan oleh
Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini saat mengomentari berkembangnya wacana tentang penundaan pemilu 2024 oleh elit beberapa partai politik.
Menurut Titi, tidak ada satu pun negara di dunia menunda pemilihan umum (pemilu) dengan alasan untuk menjaga stabilitas pertumbuhan ekonomi.
“Penundaan pemilu merupakan strategi populer kedua yang dipakai selain amendemen konstitusi,” kata Titi Anggraini menjawab pertanyaan ANTARA di Semarang, Sabtu, terkait dengan sejumlah pimpinan partai politik pendukung pemerintah yang mewacanakan perpanjangan masa jabatan presiden/wakil presiden.Titi menilai wacana itu merupakan strategi dalam rangka memperpanjang durasi kekuasaan sekaligus menghindari pembatasan masa jabatan dengan cara menghindari pelaksanaan pemilu.

Ia mengungkapkan bahwa pada masa pandemi COVID-19 sejumlah negara memang menunda pemilu mereka untuk jangka waktu tertentu. Akan tetapi, pertimbangannya adalah demi keselamatan jiwa warga negara.

“Hal itu pun dilakukan dengan sangat cermat, pertimbangan hukum yang ketat, serta proses yang terbuka,” ucapnya.

Kalau alasannya pertumbuhan ekonomi, menurut Titi, selain sangat janggal, tidak lazim. Bahkan menurut dia, hal itu jelas-jelas bertentangan dengan konstitusi.

Pasal 7 UUD NRI Tahun 1945, lanjut dia, jelas mengatur bahwa presiden dan wakil presiden memegang jabatan selama 5 tahun, dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.

Selain itu, Pasal 22E ayat (1) UUD juga secara eksplisit menyebutkan pemilihan umum dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil setiap 5 tahun sekali.

“Mestinya elite dan pimpinan parpol patuh dan taat dalam menjalankan konstitusi, bukan malah menawarkan sesuatu yang jelas tidak ada celahnya dalam UU Pemilu maupun konstitusi kita,” terang Titi.

Ia mengingatkan bahwa budaya konstitusi yang buruk selain merupakan pendidikan politik yang buruk, juga bisa menumbuhkan apatisme yang lebih besar pada publik terhadap para pejabat.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

6  +  2  =