Opini

Perpu dan Berlomba-lomba Dalam Kebaikan

Oleh: Azmi Syahputra*

Channel9.id-Jakarta. Keberadaan Perpu Nomor 1 Tahun 2020 tentang kebijakan keuangan negara dan stabilitas sistem keuangan penanganan Covid-19, sejak awal pembentukan cacat formal  karena belum terpenuhinya syarat pembentukan sebuah Perpu. Salah satunya antara lain, adanya syarat bila ada kekosongan hukum padahal syarat ini tidak terpenuhi karena sudah ada  ruang antisipatif produk undang undang organik  yang dapat dijadikan acuan dan mendukung jika terjadi bencana dan akibat hukumnya jika dalam keadaan darurat, sehingga semestinya Perpu tidak begitu urgent untuk dimunculkan.

Persoalan lebih lanjut berkembang  dialektika publik dan saat ini sudah masuk dalam ranah judicial review di Mahkamah Konstitusi, dimana  keberadaan Perpu ini seolah menjadi perisai untuk bisa menjadi payung hukum perlindungan para pejabat pemegang anggaran guna terhindar dari tuntutan tindak pidana korupsi, gugatan perdata maupun tata usaha negara.

Perpu ini bukanlah imunitas absolut. Kalaupun  ditemukan dan terjadi tindak korupsi  tetap di proses hukum, karena tujuan keberadaan Perpu ini ada bukan untuk imunitas melainkan untuk mendorong percepatan bertindak guna penyelesaian bencana Covid-19 dengan bekerja teliti dan hati -hati (gunakan dengan hati nurani bukan sesuka hati).

Semua kewenangan dan fungsi lembaga  harus dilaksanakan dengan iktikad baik,  mengingat sumpah jabatannya, bertanggungjawab sesuai tupoksi dan bekerja sesuai maksud Undang-Undang. Jadi  kalaupun ditemukan ada perbuatan yang bertentantangan dengan apa yang dikehendaki dan dperintahkan Undang-Undang,  tetap masuk delik korupsi apalagi sampai diketahui ada peristiwa suap. Artinya tugas kewajiban pejabat tersebut tidak dilaksanakan dengan iktikad baik dan bertentangan dengan Undang-Undang, malah nyata mengambil keuntungan untuk diri sendiri atau menguntungkan orang lain atau terdapat kepentingan hukum negara dirugikan. Untuk ini dapat dikenakan hukuman karena pasal dalam Undang-Undang Tipikor  tidak dicabut oleh Perpu ini. Artinya Undang-Undang Tipikor masih dapat diterapkan.

Adapun pintu masuk landasan hukum sepanjang ada perbuatan dan buktinya  nyata-nyata ada penyelewengan, dan pejabat tersebut tidak melakukan yang  semestinya secara terbaik dan terukur sebagaimana wujud dari iktikad baik maka pasal 2 jo pasal 3 Undang-Undang Tipikor maupun pasal terkait dalam UU Korupsi dapat diterapkan.

Sebuah produk Undang-Undang termasuk Perpu tetap mengacu pada asas asas hukum  yang mendasar misalnya asas persamaan dihadapan hukum maka berdasarkan asas hukum. Ini diketahui tidak ada jabatan  dan fungsi menjalankan jabatan publik yang membuat seseorang kebal hukum, toh diketahui kewenangan setingkat Presiden  sekalipun juga dapat dibatasi oleh hukum dan Undang-Undang agar ada keseimbangan fungsi pemerintah. Maka ada penyeimbang kelembagaan di bidang legislatif, eksekutif dan yudikatif, karenanya tidaklah tepat bila  ada anggapan istilah  imunitas. Maka adalah tepat kiranya untuk ini diperlu pengawasan dari semua pihak serta libatkan partisipasi masyarakat dan buka ruang komunikasi dengan publik sehingga  penanganan bencana ini dapat tercapai dengan lebih efisien dan efektif serta koordinasi yang solid, tepat dan baik.

Pemerintah harus  bersifat terbuka  agar terhindar dari penyimpangan dan kekeliruan serta bersedia menerima masukan sekaligus “kritik yang solutif ” guna  mendapatkan dialektika dan meluruskan arah perjalanan pemerintahan  dalam mencapai tujuan bangsa. Kata kunci dalam menjalankan situasi saat ini dan Perpu ini adalah amanah, keinginan luhur serta komitmen para penyelenggara negara untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat dan keadilan sosial sehingga kerja kerja yang dilakukan adalah berlomba-lomba dalam kebaikan.

*Ketua Asosiasi Ilmuwan Praktisi Hukum Indonesia (Alpha)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1  +    =  9