Channel9.id, Jakarta – PT Pertamina (Persero) dilaporkan telah menandatangani nota kesepahaman (MoU) untuk mengimpor liquefied petroleum gas (LPG), bensin, dan minyak mentah langsung dari Amerika Serikat. Kesepakatan ini menjadi bagian dari strategi diplomasi dagang antara Indonesia dan AS, terutama dalam upaya menyeimbangkan neraca perdagangan kedua negara.
Informasi ini disampaikan oleh Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto, seperti dilansir Reuters, Rabu (9/7/2025). Menurutnya, pembelian produk energi dari AS menjadi bagian dari skema negosiasi atas kebijakan tarif resiprokal yang diberlakukan oleh Presiden AS Donald Trump, yakni sebesar 32% terhadap produk asal Indonesia.
Hingga berita ini ditulis, Pertamina Patra Niaga belum memberikan tanggapan resmi.
Sementara itu, Wakil Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Yuliot Tanjung juga menegaskan bahwa pemerintah tetap berkomitmen meningkatkan impor energi dari AS, termasuk LPG dan minyak mentah, meskipun tarif tinggi tersebut masih akan diberlakukan mulai 1 Agustus 2025.
“Surplus perdagangan kita dengan AS saat ini sekitar US$19 miliar. Kita berupaya menjaga keseimbangan dengan meningkatkan impor energi langsung dari AS,” ujar Yuliot dalam sebuah forum energi nasional di Jakarta, Selasa (8/7/2025).
Langkah ini dinilai strategis, tidak hanya untuk mengimbangi neraca dagang, tetapi juga sebagai upaya meredam tekanan kebijakan perdagangan AS terhadap Indonesia. Pemerintah bahkan menyiapkan belanja impor senilai US$34 miliar atau sekitar Rp551,1 triliun, di mana lebih dari US$15,5 miliar (sekitar Rp251,24 triliun) dialokasikan khusus untuk sektor energi.
Selama ini, sebagian besar impor minyak dan gas (migas) Indonesia dari AS dilakukan secara tidak langsung melalui Singapura. Namun, pemerintah berencana mengubah skema tersebut menjadi impor langsung dari produsen energi asal AS.
Yuliot mengungkapkan bahwa pihaknya telah melakukan komunikasi dengan dua perusahaan minyak terbesar asal AS, yaitu ExxonMobil dan Chevron.
“ExxonMobil memiliki kapasitas produksi global sekitar 5 juta barel per hari, sedangkan Chevron sekitar 3 juta barel. Kami sudah mulai berbicara dengan mereka,” kata Yuliot.
Langkah ini mempertegas arah baru kebijakan energi Indonesia yang lebih terintegrasi dengan mitra dagang strategis seperti Amerika Serikat, sekaligus memperkuat posisi Indonesia dalam negosiasi dagang global.