Oleh: Mukti Ali Qusyairi
Channel9.id – Jakarta. Ada tiga pasang Capres-Cawapres yang bertarung dalam kontestasi di tahun 2024. Posisening dan jenis kelamin dari ketiganya sangat menentukan untuk dilihat dan dinilai oleh publik sebagai pihak yang akan memilih. Ketidakjelasan posisening dan jenis kelamin dapat berakibat pada bimbangnya pemilih untuk menentukan. Terlebih jika plin-plan, kemaren toge sekarang kedelai, maka publik pun akan menilai bahwa pasangan Capres-Cawapres yang plin-plan itu sejatinya tidak memiliki tawaran gagasan yang kokoh. Singkatnya, public butuh kejelasan.
Membaca kecenderungan publik, menurut saya agaknya public sebagai pemilih melihat ketiga pilihannya itu dengan dua perspektif, yaitu Hegelian dan tarjih.
Dialektika Hegelian
Teori dialektika Georg Wilhelm Friedrich Hegel, seorang filsuf besar Jerman yang di dalam dialektika terdapat tesa, anti-tesa, dan sintesa adalah teori yang relevan untuk melihat di manakah seharusnya posisi ketiga Capres-Cawapres, AMIN, PAGI, dan GAMA? Dalam kacamata dialektika, semestinya ketiganya terdapat dalam posisi tesa, anti-tesa, dan sintesa.
Agaknya ada dua pasangan yang posiseningnya jelas dan tegas. Capres-Cawapres nomor 02, PAGI (Prabowo-Gibran) posiseningnya sangat jelas yaitu sebagai tesa lantaran mengusung keberlanjutan pembangunan dan berbagai program yang sudah digariskan dan direalisasikan kepemerintahan Jokowi.
Tesa atau tesis merupakan narasi yang sudah ada. Sedangkan lawannya atau yang berseberangan disebut anti-tesa.
AMIN (Anis-Muhaimin) mengambil posisening anti-tesa dengan mengusung perubahan atas apa saja yang sudah digariskan dan direalisasikan kepemerintahan Jokowi. Posisinya menyerang, mengoreksi, dan hendak mengganti kebijakan lama seperti kebijakan IKN (Ibu Kota Negara) akan dibatalkan, dll.
GAMA (Ganjar-Mahfudz MD) yang dalam perspektif Hegelian semestinya mengambil posisening sintesis antara tesa PAGI dan anti-tesa AMIN, tapi realitasnya agaknya kerepotan mengambil posisi apakah anti-tesa atau tesa atau sintesa. Pra penetapan Cawapres, ketika Ganjar masih sendiri, ia memposisikan sebagai tesa/tesis dengan mengusung keberlanjutan kepemerintahan Jokowi. Pasca penetapan Cawapres, posiseningnya menjadi berubah dan ambyar tidak lagi sebagai tesa, sebab Gibran bergabung dengan Prabowo dan Jokowi sebagai King Makernya, dan Ganjar berpasangan dengan Mahfudz MD di mana Megawati adalah King Makernya.
Sehingga, di awal penetapan Capres, pasca penetapan MK dan Gibran sah menjadi Cawapres Prabowo, GAMA memposisikan sebagai anti-tesa Jokowi sama dengan posisi AMIN. Bahkan, di kubu GAMA dari elit politisi sampai dengan simpatisannya bersikap menyerang dengan keras bahkan lebih keras dari serangan yang dilakukan oleh pihak AMIN kepada Jokowi. Sampai pada tahap menegasikan atau ‘hampir tidak mengakui’ kemajuan yang telah dicapai kepemerintahan Jokowi selama ini
Menurut penilaian publik bahwa sikap anti-tesis GAMA dengan menyerang Jokowi membabibuta itu adalah ironi. Sebab selama 9 tahun kepemerintahan Jokowi, PDIP dan Capres Mahfudz MD adalah bagian dari kepemerintahan Jokowi. Sehingga seperti menyerang dirinya sendiri. Dengan bahasa lain, menikam jantungnya sendiri. Pada gilirannya, suara Jokowi yang tadinya menjatuhkan pilihan ke GAMA telah mengalami migrasi besar-besaran ke PAGI dan sebagian kecil ke AMIN.
GAMA belakangan mengubah strategi dari anti-tesis dengan menyerang Jokowi ke tesis dengan kembali mengakui kemajuan kepemerintahan Jokowi. Tapi sampai saat ini belum mengambil sikap sintesis.
Tarjih
Bagi politisi, politik itu dilakukan bukan banyak dibicarakan. Politisi sejati sedikit bicara banyak bekerja, atau selaras antara ucapan dengan tindakan. Bagi pengamat atau buzzer, politik tidak dilakukan tapi dibicarakan. Bagi penulis, politik dianalisa dalam narasi. Bagi lembaga survei politik dihitung menggunakan statistik. Sedangkan bagi timses atau pendukung paslon garis keras politik dilakukan, dibicarakan, diperdebatkan, dan bahkan kadang bisa gegeran atau cakar-cakaran meski dengan teman atau saudara sendiri. Riak-riak konflik sangat minim lantaran masyarakat Indonesia sudah dewasa dalam berdemokrasi. Pemilu pun akan terlaksanan dengan damai dan kondusif.
Lalu bagaimana publik menyikapi politik? Suara publik ada pada sikapnya dalam memilih Capres-Cawapres dengan menggunakan pendekatan tarjih, yaitu menyeleksi berbagai dalil-dalil yang ada untuk memilih dan menetapkan dalil yang dianggap paling kuat. Dalil itu bisa dalam bentuk realitas, bukti kerja, pandangan, prilaku politik, program dan rekam jejak.
Bukti kerja dan rekam jejak yang dinilai publik selain Capres-Cawapres, juga King Maker yang ada di belakangnya. Publik sudah menilai bahwa di belakang AMIN ada King Maker Surya Paloh, di belakang PAGI ada King Maker Jokowi, dan di belakang GAMA ada King Maker Megawati. Sehingga yang dijadikan dalil bukti kerja dan rekam jejak King Maker menjadi acuan seleksi mana yang kuat dan terbukti dan mana yang lemah.
King Maker Surya Paloh belum terbukti, lantaran tidak pernah menjadi Presiden atau pejabat public yang dapat dinilai rekam jejak kinerjanya sebagai dalil yang dapat diseleksi. Megawati sukses menjadi ketua partai PDIP dan menjadikan partainya sebagai pemenang, sedangkan pejabat publik yang pernah didudukinya adalah Wakil Presiden dan Presiden menggantikan Gus Dur yang dilengserkan di tengah jalan.
Sedangkan rekam jejak Jokowi di mata publik terang beneran, di antaranya yaitu: dana desa, BPJS Kesehatan, infrastruktur merata bukan hanya Jawa Sentris melainkan di seluruh pulau luar Jawa, perbaikan transportasi kereta komersial lintas propinsi, kereta cepat, bandara baru, pelabuhan baru, IKN (Ibu Kota Nusantara), beasiswa LPDP, bantuan tunai untuk masyarakat miskin dengan Kartu Keluarga Sejahtera dan Kartu Indonesia Sehat, Hari Santri Nasional (HSN), BLK (Balai Latihan Kerja) dan rusunawa pesantren, Undang-Undang Pesantren, hilirisasi yakni tidak menjual barang mentah ke luar dengan tujuan menarik investor luar membangun pabrik di Indonesia untuk mengolah bahan mentah, transfer knowledge dan menyerap lapangan kerja, demi menjaga kepentingan nasional Jokowi berani menghadapi gugatan WTO, memperkuat ideologi Pancasila dan Islam moderat/wasatiyat dengan membubarkan ormas-ormas yang ingin mengubah ideologi bangsa dan menghalalkan kekerasan atasnama agama, sukses dengan gemilang menjadi tuan rumah dalam berbagai event internasional (Asian Games, G20, KTT ASEAN), dan masih banyak lagi yang lain.
Bagi Masyarakat pada umumnya dalil yang paling kuat untuk menjatuhkan pilihan Pilpres adalah bukti nyata, dilihat dan dirasakan secara seksama.
Penulis adalah Penulis Buku Ulama Bertutur tentang Jokowi