Oleh: Rudi Andries*
Channel9.id-Jakarta. Bappenas baru saja meluncurkan buku Blue Food Assessment Indonesia (BFA) pada 6 Agustus 2025. Isinya tampak teknis, tetapi sesungguhnya mengandung gagasan besar: memetakan kekayaan pangan biru—ikan, rumput laut, kerang—sebagai fondasi kemandirian pangan Indonesia. Kajian ini lebih dari sekadar inventarisasi biota akuatik; ia bisa menjadi titik tolak menyusun menu adaptif untuk Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang kini sedang digenjot pemerintah.
Gagasan MBG bukan hanya soal menyiapkan bekal 500–700 kalori bagi setiap anak per hari. Lebih dari itu, ia bisa menjadi alat transformasi. Menu anak-anak sekolah tidak harus seragam di seluruh negeri. Ia bisa berakar pada cita rasa lokal: sagu di Papua, jagung di Nusa Tenggara, beras di Jawa, atau ikan air tawar di Sumatera. BFA telah memetakan kekayaan itu, dan kini tinggal bagaimana meracik menu yang berpihak pada kearifan lokal sekaligus memenuhi standar gizi: 20–30 persen protein akuatik, 50–60 persen karbohidrat lokal, sisanya sayur dan buah dari daerah masing-masing.
Diversifikasi menu bisa dilakukan dengan rotasi musiman: tiga sampai empat menu per provinsi, berputar setiap bulan. Pola ini bukan saja menyehatkan, tetapi juga menjaga keberlanjutan rantai pasok lokal. Bayangkan seorang murid di Aceh menikmati kari ikan tuna, sementara anak di Papua bersantap papeda dengan ikan kuah kuning. Keduanya mendapat nutrisi yang setara, dengan bahan yang tumbuh dari tanah dan laut mereka sendiri.
Namun, bicara pangan tak bisa lepas dari soal produktivitas. Di sinilah peran teknologi biochar menjadi relevan. Biochar—arang aktif dari limbah pertanian—mampu meningkatkan hasil panen hingga 20–60 persen. Sisa sagu dan jerami dapat melipatgandakan produksi ubi, kulit padi mengoptimalkan sawah, sementara residu rumput laut bisa menyuburkan tanah garam. Biochar tidak hanya menjawab kebutuhan pupuk ramah lingkungan, tapi juga menjadi jembatan restorasi lahan marginal yang selama ini terabaikan.
Jika MBG hendak berkelanjutan, ia tidak cukup bergantung pada APBN. Dukungan swasta melalui CSR, skema kredit karbon, hingga filantropi bisa menjadi penghela. Pilot project di sepuluh provinsi—dari Aceh sampai Papua—bisa menjadi laboratorium hidup. Kolaborasi dengan perguruan tinggi seperti IPB, serta sinergi dengan Bappenas dan DNIKS, memastikan program tidak berhenti di ruang seminar.
Program makan bergizi gratis sesungguhnya adalah program peradaban. Ia bukan sekadar memberi nasi kotak tiap pagi, melainkan mencetak generasi sehat, kuat, dan berakar pada bumi tempat mereka tumbuh. Dari dapur sekolah, kita bisa memulai kedaulatan pangan, membangun martabat, sekaligus menjaga bumi dengan teknologi sederhana seperti biochar.
Pertanyaannya tinggal satu: apakah kita cukup berani menaruh harapan besar di piring kecil anak-anak bangsa?
*Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS)
Baca juga: Biochar: Bara Hitam untuk Hijau Indonesia