Oleh: Salman Hasky*
Channel9.id-Jakarta. 1977, Band Boosty Rubber aliran funk, pernah berdendang soal teori pinokio. If you fake the funk your nose will grow. Tegas sekali ancamannya.Dalam dongeng, ada dua tokoh pembual sering muncul. Satu pinokio, yang sampai repot-repot diteorikan Bootsy Rubber. Kedua Abu Nawas. Yang pertama agak serius menutup bualnya, yang terakhir biasa dibalut cerita jenaka.
Apa beda Pinokio dan Abu Nawas hanya soal serius dan jenaka? Kalau mau agak-agak rempong mengotopsi, Pinokio terlalu lugu, sementara abu nawas pandai memakai seni mengelabui. The devil its in detail. Makanya, Pinokio dapat resiko hidung bertambah panjang kalau berbohong. Tapi si Abu, kalau orang tahu dia berbohong, banyak yang terkekeh-kekeh, tak sedikit tepuk jidat. Intinya, warga tahu kalau Abu Nawas sedang beraksi bual-membual. Sudah biasa. Dua-duanya memang cuma dongeng.
Di dunia nyata, anak-anak muda lemah iman, punya semboyan, maksiat cuma perkara sepele, toh dosa tak bikin benjolan di jidat.
Politisi lemah iman beda lagi, kalau sudah ada maunya, sering berkunjung ke kyai, ikut pengajian pesantren, ibadah khusuk, bila perlu sambil tutup mata, jidat dikerutkan. Mereka tahu kalau agama magnet kerumunan warga. Yang lemah syahwat, bisa saja mejeng tampil dengan gadis-gadis cantik nan seksi, yang bibirnya merah aduhai dan agak-agak basah. Tapi kalau ini biasanya disimpan rapat-rapat dalam bilik tembok yang tak sanggup bercerita. Ini namanya panggung belakang kalau mau sedikit bergaya mengutip konsep impression management ala Erving Goffman.
Politisi yang kaya raya rela gotong royong sama warga miskin, makan di warung kelas cere, dan sesekali dipaksakan bercanda gurau dengan orang-orang bernasib memble. Konsep mistifikasi Goffman, dimana biasanya ada jarak sosial antara pemimpin dan rakyat jelata demi marwah dan wibawa terlalu kuno di jaman kekinian.
Abu Nawas, Konteks dan Momentum
Mekanika politik memang sederhana; who gets what when and how. Kata para ahli, intinya ada pada konteks dan momentum. Konteks bisa lahir alamiah sebagai sebab dinamika sosial. Sementara momentum upaya memanfaatkan konteks itu. Tapi bisa saja konteks diciptakan dengan gocekan cantik, sementara puncaknya aksi menunggangi momentum yang sudah dikunci sejak awal skenario.
Lempar isu, dibuat gaduh, kelompok pro dan kontra berkelahi di media sosial, lalu ada sosok tampil laksana super hero. Bukan seperti polisi India tipikal film bollywood yang sering datang telat saat bandit sudah terkapar lunglai.
Rakyat berdiri tepuk tangan. Barangkali bukan karena terbius, tapi paham apa yang sedang terjadi. Sebuah episode permainan cantik. Laksana pepatah yang sempat tercecer di medsos, “dalam hidup ada tiga perkara pasti: mati; jatuh cinta; kena kibul” .
Karena apa saja bisa dikondisikan. Bila perlu, bau kentut yang mengacam jadi wewangian yang pantas. Rakyat sudah tahu aromanya, tapi ya sudahlah sekarang jadi pantas-pantas saja. Seperti ngibulnya Abu Nawas. Sudah biasa.
*Jurnalis iNews