Channel9.id-Jakarta. Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu (DKPP) menyoroti praktik politik uang yang sering terjadi selama proses pemilu. Kehadiran praktik ini dianggap menyalahi makna demokrasi itu sendiri, di mana kedaulatan rakyat dijunjung tinggi.
Anggota DKPP Dewi Pettalolo menyebutkan bahwa politik uang adalah proses untuk memengaruhi rakyat dengan uang, dengan harapan hak pilih mereka sesuai dengan keinginan pemberi uang.
“Uang ini diharapkan menjadi daya tarik atau menarik simpati rakyat dalam menentukan hak suaranya. Jadi, ini bukan menegakkan kedaulatan rakyat, melainkan menegakkan kedaulatan uang,” tuturnya di seminar daring yang digelar oleh Ditjen Politik dan Pemerintahan Umum Kementerian Dalam Negeri, Kamis (9/2).
“Uang yang akan memengaruhi suara rakyat. Jadi, tak ada lagi kemurnian suara rakyat di dalam menentukan pilihannya. Tentunya, ini akan berimplikasi pada penyelenggaraan pemerintahan yang lahir dari proses pemilu,” tandasnya.
Dewi menambahkan bahwa sejatinya penggunaan uang dalam penyelenggaraan pemilu sudah tercantum dalam Undang-Undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017. UU ini membatasi penggunaan uang di dalam pemilu sehingga meminimalisasi politik uang.
“Aturan itu hadir agar pemilu itu tak berbiaya tinggi, sehingga diatur sedemikian rupa agar tak memberatkan dalam anggaran pembiayaan politik dalam pemilu. Tak heran banyak item-item dalam pemilu yang sudah dibiayai oleh negara melalui APBN melalui KPU misalnya pembuatan baliho, spanduk, dan lainnya,” kata Dewi.
Menurut Dewi, politik uanglah yang memungkinkan proses pemilu memakan biaya tinggi. Ia menambahkan bahwa pihak yang turut membiayai atau berandil dalam politik uang yaitu mereka yang punya kepentingan terhadap pemilu.
“Siapa yang membiayai? Ada pihak-pihak lain yang punya kepentingan lain terhadap pemilu dan hasil pemilu. Mereka, yang nantinya bisa memberikan keuntungan secara ekonomi atau kekuasaan, yaitu pihak pemodal, pengusaha, dan pihak lain,” jelas dia.
Selain itu, Dewi mewanti-wanti bahwa ada catatan penting: Operasi Tangkap Tangan (OTT) oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) banyak terjadi pascapemilu. “Karena terbukti ada praktik-praktik penggunaan yang tak legal dalam penyelenggaraan ini,” lanjutnya.