Channel9.id-Jakarta. Kematian pasien positif COVID-19 umumnya disebabkan oleh akumulasi paparan polusi udara. Demikian penjelasan Peneliti Perubahan Iklim dari Universitas Indonesia Budi Haryanto.
Budi mengatakan, kondisi polisi tinggi memicu gangguan paru penyerta (komorbiditas) seperti ISPA, Asma, dan penyakit lainnya. Oleh karenanya, sistem kekebalan tubuh tidak bisa menangkal virus corona SARS-CoV-2. Tak pelak bila kondisinya semakin buruk, setelah terinfeksi.
“Tidak seratus persen imunitas tubuh bisa melawan COVID dibanding dengan orang yang tidak punya komorbiditas. Orang yang sehat terus kemudian terkena virus, seratus persen dari imun tubuh bisa melawannya. Sehingga terlihat ketika ada penyakit bawaan, penderita akan menjadi parah ketika terkena COVID-19,” terangnya, Kamis (30/4).
Diketahui sebelumnya, Juru Bicara Pemerintah untuk penanganan Covid-19 Achmad Yurianto pun menyampaikan pasien positif COVID-19 yang meninggal di Indonesia rata-rata memiliki penyakit penyerta.
Mengutip hasil studi Harvard, Budi melanjutkan, tingkat kematian pasien postif COVID-19 lebih tinggi di wilayah berpolusi udara tinggi, daripada di wilayah dengan kondisi polusi udara rendah.
Studi Harvard ini menunjukkan, peningkatan 1 gram per meter kubik dalam partikel halus di udara berkaitan dengan peningkatan 15% tingkat kematian akibat COVID-19.
“Ternyata setiap ada peningkatan 1 μg/m3 PM2,5 dapat meningkatkan 15% tingkat kematian akibat COVID-19,” ujar Budi.
Bahkan, resiko kematian di wilayah polusi tinggi bahkan mencapai 4,5 kali lebih besar. Besar kemungkinan juga risiko tersebut dipengaruhi oleh infeksi sistem kekebalan tubuh seseorang yang menurun akibat paparan polusi udara, atau pun masalah pernapasan yang diperburuk oleh polusi udara.
Sementara itu, studi dari dari Centre for Research on Energy and Clean Air (CREA) polusi udara juga memperparah kondisi pasien COVID-19 yang telah memiliki latar belakang penyakit seperti diabetes, penyakit paru-paru, asma, penyakit jantung, dan kanker.
(LH)