Prof. Soemantri dan Akar Kesetiakawanan Bangsa
Opini

Prof. Soemantri dan Akar Kesetiakawanan Bangsa

Oleh: Rudi Andries*

Channel9.id-Jakarta. Setiap tahun, antara 10 November hingga 20 Desember, bangsa Indonesia memasuki rentang waktu reflektif yang istimewa. Kita memperingati Hari Pahlawan (10 November), Hari Disabilitas Internasional (3 Desember), dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (20 Desember). Ketiga momentum ini seolah menjadi satu rangkaian nilai — tentang perjuangan, kemanusiaan, dan solidaritas.

Di tengah refleksi itu, nama Prof. Dr. (Mr.) H. Raden Mas Soemantri Praptokoesoemo, S.H. patut kita kenang bukan hanya sebagai tokoh akademik, tetapi sebagai pahlawan sosial bangsa yang meletakkan dasar konseptual dan kelembagaan kesejahteraan sosial Indonesia.

Pejuang Kemerdekaan Sosial

Lahir di Temanggung, 12 Juni 1912, Prof. Soemantri adalah sosok yang unik — seorang sarjana hukum yang kemudian mengabdikan hidupnya untuk bidang kesejahteraan sosial.

Beliau percaya, kemerdekaan politik tanpa keadilan sosial hanyalah kemerdekaan semu. Karena itu, sejak awal 1950-an, ia mengarahkan pengabdiannya untuk memperkuat dimensi sosial dari kemerdekaan Indonesia.

Pada 20 Desember 1949, beliau menciptakan lambang “Adicita Pekerjaan Sosial”, simbol abadi bagi pekerja sosial Indonesia.

Lambang itu bukan sekadar karya grafis; ia adalah pernyataan ideologis — bahwa pekerjaan sosial adalah panggilan kemanusiaan yang berakar pada kesetiakawanan. Kelak, tanggal inilah yang dijadikan momentum peringatan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional (HKSN).

Membangun Sistem, Bukan Sekadar Amal

Di masa awal kemerdekaan, banyak yang menganggap pekerjaan sosial hanya sebatas amal dan belas kasihan, tapi Prof. Soemantri berpikir jauh ke depan: bahwa kesejahteraan sosial harus dikelola secara sistematis, profesional, dan berbasis komunitas.

Ia mendirikan Lembaga Sosial Desa (LSD) pada 5 Mei 1952 — cikal bakal pendekatan berbasis komunitas yang kini menjadi dasar pembangunan sosial di tingkat akar rumput. Beliau juga memelopori Sekolah Pekerjaan Sosial (SPSA) dan kemudian mendirikan Fakultas Kesejahteraan Sosial Universitas Muhammadiyah Jakarta, agar pekerjaan sosial memiliki dasar ilmiah dan etika profesi yang kokoh.

Pada masa Menteri Muljadi Djojomartono ia dikirim ke Inggris pada tahun 1957-1958 untuk belajar masalah kesejahteraan sosial Course of Instruction in Social Welfare selama satu tahun, yang dimana sebelumnya ia telah mendirikan BPPS (Balai Persiapan Pekerjaan Sosial)/ BPPS (Balai Penyelidikan dan Penyanderaan Sosial)/ BPKS {Balai Penelitian Kesejahteraan Sosial}/ B2P3KS (Balai Besar Penelitian dan Pengembangan Pelayanan Kesejahteraan Sosial) di Yogyakarta pada tahun 1952.

Dengan gagasan itu, Prof. Soemantri tidak hanya menolong masyarakat miskin, tapi membangun institusi dan sumber daya manusia kesejahteraan sosial. Ia mengubah paradigma “bantuan sosial” menjadi “pemberdayaan sosial”.

Tat Twam Asi: Aku adalah Engkau

Salah satu warisan paling dalam dari Prof. Soemantri adalah semboyan “Tat Twam Asi” — sebuah ungkapan filsafat Hindu yang berarti “Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku”.

Bagi beliau, semboyan ini adalah inti dari kesetiakawanan sosial: tidak ada jarak antara penolong dan yang ditolong; keduanya saling memanusiakan.

Filosofi ini menemukan relevansinya kembali ketika kita memperingati Hari Disabilitas Internasional. Tat Twam Asi mengingatkan kita bahwa penyandang disabilitas bukanlah “pihak lain” yang perlu dikasihani, melainkan sesama warga yang memiliki hak, potensi, dan martabat yang sama.
Kebijakan dan pelayanan sosial yang inklusif adalah manifestasi nyata dari semangat tersebut.

Pahlawan Tanpa Tanda Jasa, tetapi Berjasa Besar

Dalam konteks Hari Pahlawan (10 November), kita sering kali mengenang mereka yang gugur di medan perang. Namun, ada pula pahlawan yang berjuang di medan sosial — membangun jembatan antara kemerdekaan dan kesejahteraan.

Prof. Soemantri adalah di antara mereka. Beliau memperjuangkan kemandirian masyarakat, menata kelembagaan sosial, menguatkan profesi pekerjaan sosial, dan menanamkan nilai kesetiakawanan lintas generasi. Ia bukan hanya seorang pemikir, tapi arsitek sistem sosial Indonesia yang terus bertahan hingga kini melalui Kementerian Sosial, DNIKS, dan berbagai LSM.

Kini, di tengah derasnya arus individualisme dan krisis kepercayaan sosial, warisan pemikiran Prof. Soemantri menjadi semakin relevan. Ia mengingatkan bahwa pembangunan sejati bukan diukur dari pertumbuhan ekonomi, tetapi dari kekuatan solidaritas. Bangsa yang sejahtera bukan yang kaya secara material, melainkan yang saling peduli dan tidak meninggalkan yang lemah.

DNIKS meyakini, peringatan tiga hari istimewa ini — Hari Pahlawan, Hari Disabilitas Internasional, dan Hari Kesetiakawanan Sosial Nasional — menemukan simpul maknanya dalam diri Prof. Soemantri Praptokoesoemo.

Beliau adalah pengingat bahwa kesejahteraan sosial adalah wajah kemanusiaan dari kemerdekaan Indonesia.

Penutup: Dari Refleksi ke Aksi

Dalam semangat memperingati November–Desember sebagai “Musim Kesetiakawanan”, DNIKS mengajak seluruh pemangku kepentingan — pemerintah, lembaga sosial, pelaku CSR/TJSL, akademisi, dan masyarakat luas — untuk melanjutkan jejak Prof. Soemantri.

“Mari kita teruskan api semangatnya: membangun sistem sosial yang berkeadilan, menghapus diskriminasi, dan menegakkan kesetiakawanan nasional.

Sebab seperti pesan beliau: Tat Twam Asi – Aku adalah Engkau, Engkau adalah Aku.

*Wakil Ketua Umum Dewan Nasional Indonesia untuk Kesejahteraan Sosial (DNIKS)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

80  +    =  88