Opini

Program Hilirisasi Nikel Indonesia 

Oleh: Rudi Andries*

Lanjutan dari artikel “Mencermati Investasi Tesla di Indonesia”

Channel9.id-Jakarta. Program hilirisasi Nikel diamanatkan oleh UU Minerba sebagai turunan pasal 33 UUD 1945 khususnya ayat (3). Presiden Jokowi melaksanakan UU itu dengan konsisten. Semua kementerian dan lembaga wajib mentaati dan tidak bermain-main. Artinya program hilirisasi minerba sudah konsesus politik.

Walau UU Minerba pertama disahkan menjadi UU di era SBY dan di revisi dengan UU No. 3/2020 tentang Minerba di era Jokowi, namun sampai sekarang hilirisasi itu hanya sebatas antara (intermediate) dan didominasi oleh produk kelas dua, yakni nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi). Belum sampai ke produk jadi yang nilai tambahnya jauh lebih tinggi.

Pada tahun 2021, konsorsium BUMN, PT Pertamina, PT Antam, PT PLN dan PT MIND ID. mendirikan pabrik baterai , namanya PT Industri Baterai Indonesia (IBI) dengan komposisi saham masing-masing 25%. Namun ini bukan membuat baterai modul, tapi hanya sebatas lempengan baterai. Nilai tambahnya lumayan, 5 kali daripada jual nickel ore. Kalau modul baterai, itu nilai tambahnya bisa mencapai 50 kali.

Nampak jelas ada skema supply chain yang ingin menguasai SDA nikei. Misal PT Industri Baterai Indonesia kerjasama dengan Hyundai Motor Company, KIA Corporation, Hyundai Mobile, dan LG Energy Solution bangun pabrik baterai senilai US$1,1miliar. Begitu juga IBI kerjasama dengan Contemporary Amperex Technology Co Ltd (CATL) asal Tiongkok dengan investasi sebesar US$ 5 miliar (Rp 72 triliun), dan LG Chem Ltd asal Korea Selatan sebesar US$ 13-17 miliar (Rp 187,5-245 triliun).

Sejauh terlihat investasi tersebut diatas sebenarnya sama saja dengan counter trade (imbal beli SDA). Investasi dibayar dengan produksi. Karena investor yang kerjasama dengan IBI itu adalah juga offtaker produk baterai itu sendiri. Tetapi itu hanya sebatas lempengan baterai. Lempengan itu dikapalkan ke China untuk mendukung supply chain industri modul bateral dan EV. Kita hanya kebagian nilai tambah 5 kali saja dari harga nikel. Sementara Korea Selatan dan China dapatkan nilai tambah 10 kali dari lempengan baterai itu. Belum lagi China dan Korea Selatan dapat laba dari pabrik baterai mereka di Indonesia sebagai JV.

Betapa besarnya alokasi anggaran sektor Pendidikan di APBN kita (20% dari total APBN). Itu tentu berharap investasi pendidikan bisa mencetak anak-anak bangsa yang tidak sekedar terdidik tapi ahli yang dapat memberikan sumbangan bagi kemajuan negeri ini. Tetapi sampai sekarang kita hanya jadi pecundang di bidang hilirisasi SDA. Karena kampus hanya sibuk berpolitik dan omong kosong dan output nya para sarjana yang sibuk cari kerjaan dan nyinyir. Mau gimana lagi. Itulah nasib negeri kita. Mindset terjajah belum tuntas dihapus. Inferior banget-nget.

Apalagi lihat Jokowi sampai datang menemui Elon Musk. Terenyuh melihat segitu besar keinginan presiden kita untuk nilai tambah SDA negeri ini. Kalaulah anak negeri ini mampu mandiri di bidang hitech, SDA kita akan mampu memberi manfaat yang optimal untuk negeri ini.

*Peneliti Lapeksi

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  89  =  97