Oleh: Dr. Usmar.SE.,MM
Channel9.id – Jakarta. Melihat peristiwa yang terjadi dalam dua minggu terakhir ini sejak disahkannya RUU Cipta kerja oleh DPR RI dalam rapat paripurna ke-7 DPR masa persidangan I tahun 2020-2021 pada tanggal 5 Oktober 2020 dimana sebagian masyarakat menolak meski mungkin belum sempat memahaminya secara substansial. Tetapi juga sebagian masyarakat dapat memahaminya, karena memang menghadapi dinamika perkembangan sosial di era Revolusi Industri 4.0 di abad 21 yang sedang terjadi saat ini pasti tidak sama dengan situasi dan kondisi sosial di abad 20 lalu.
Untuk itu melakukan berbagai penyesuaian dan perbaikan dalam peraturan dan ketentuan yang berfungsi memayungi berbagai kepentingan dan kebutuhan masyarakat dalam konteks ke kinian dan ke depan adalah suatu keharusan yang tidak bisa di hindarkan, karena memang pada hakekatnya sesuatu yang abadi itu hanyalah perubahan.
Konsepsi Promoter
Dipisahnya Polri dengan TNI yang waktu itu bernama ABRI sebagai buah dari gerakan reformasi 1998, telah menempatkan Polri sebagai eksekutor dalam hal memelihara keamanan serta ketertiban umum telah mengembalikan fungsi Polri sebagaimana yang berlaku universal yaitu menjaga dan memlihara keamanan dan ketertiban masyarakat, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat serta menegakkan hukum yang dapat kita sebut dengan singkatan LinYomyan Gakkum Harkamtibmas, mutlak menuntut perubahan juga dalam konsepsi dan implementasi pengelolaan Sumber daya Polri.
Promoter sebagai sebuah Konsepsi Manajemen Strategi dalam pengelolaan organisasi POLRI, pertama kali disampaikan oleh Komjen. Pol. Drs. Muhammad Tito Karnavian, MA., Ph.D. saat mengikuti proses fit and proper test calon Kapolri, di depan Komisi III DPR RI, Kamis 23 Juni 2016 yang lalu.
Promoter yang merupakan singkatan dari Profesional, Modern dan Terpercaya adalah suatu keinginan mulia yang sekaligus sebuah cita-cita besar yang relatif berat untuk di wujudkan, jika melihat sumber daya yang dimiliki kepolisian di tahun 2016 itu.
Adapun untuk implementasinya akan dilakukan dalam 3 tahap, yaitu :
Tahap 1 berada di 100 hari pertama kerja Kapolri terpilih. Tahap II November 2016 – Desember 2019. Tahap III Januari 2020 – Desember 2021
Menilik dari rencana rentang waktu penerapan konsepsi tersebut, berarti saat ini sudah memasuki ujung recana penerapan konsepsi tersebut.
Bagaimana kita menilai implementasi konsepsi Promoter tersebut di ranah Praksis ?
Dalam konteks perspektif publik, paling tidak harus memenuhi dua syarat utama, jika ingin sebuah konsepsi dapat diterapkan dengan baik, yaitu Kepercayaan Publik dan Dukungan Publik. Tentu saja kedua perspektif tersebut sebagai syarat utama dapat di peroleh Institusi Polri, bila mampu menjunjung tinggi supremasi hukum dan hak-hak individu.
Apakah hal yang sangat prinsipil ini sudah dilakukan oleh institusi Polri ? inilah yang akan kita lihat dan bicarakan dalam kesempatan tulisan ini.
Untuk mengimplementasikan konsepsi Promoter, paling tidak ada tiga kebijakan penting yang akan dilakukan, yaitu:
1). Peningkatan Kinerja,
– Profesionalisme dalam penegakan hukum,
– Peningkatan layanan publik yang berbasis IT, dan
– Pemeliharaan kamtibmas yang lebih optimal.
2) Perbaikan Budaya Institusi,
– Minimalisir budaya koruptif,
– Menghilangkan kekerasan eksesif
– Menihilkan arogansi kekuasaan.
3) Manajemen Media.
– Friendly dengan berbagai Media
– Menghormati dan menghargai kerja para Jurnalis
Peningkatan Kinerja
Dalam rilis akhir tahun 2019 yang disampaikan Polri mengutip berbagai lembaga survei terjadi penurunan dalam hal Kepuasan, Kepercayaan dan Citra Polri. Ini dapat kita lihat dari beberapa laporan lembaga survei, seperti :
– Survei LSI Denny JA tingkat Kepercayaan Masyarakat ada di angka 72,1 persen turun dari sebelumnya 87,8% di tahun 2018
– Survei Litbang Kompas menunjukkan kepercayaan publik ada di angka 70,8 persen turun dari sebelumya 82,9 persen di tahun 2018
– Survei Alvara Research menunjukkan kepuasan publik 78,1 persen turun dari 78,8 persen di tahun 2018
Dan yang menarik, dengan kebesaran jiwa Kapolri saat ini Jenderal Idham Azis atas nama pimpinan Polri mengapresiasi apapun hasilnya survei tersebut, dan akan berupaya untuk memperbaiki kinerja institusinya, agar ke depan dapat lebih baik lagi.
Bagaimana di Tahun 2020
Adapun hasil rilis beberapa lembaga survei di awal sampai dengan pertengahan tahun 2020, menunjukkan trend positif, seperti yang disampaikan oleh lembaga-lembaga survei di bawah ini,:
– Survei Indikator Politik Indonesia menyebut 80,7 persen responden menyatakan puas atas kinerja Polri, dimana survei diadakan Indikator Politik Indonesia terhadap 1.200 responden dengan metode kontak telepon pada rentang waktu 16 Mei hingga 18 Mei 2020.
– Survei Alvara Research Center menyebut tingkat kepuasan publik terhadap Polri ada di 72,7 persen.
-Indonesia Indicator merilis hasil riset persepsi publik dan media massa terhadap kinerja Polri sepanjang 2020, berdasarkan analisis framing pemberitaan media online di Tanah Air memberi nilai rapor kinerja Polri pada tahun ini sebesar 79 dari angka 100.
Menilik dari perolehan angka rata-rata masih di atas 75 persen, ini menunjukkan bahwa sesuai pernyataan Kapolri di ujung tahun 2019 lalu bahwa institusi yang dipimpinnya akan terus meningkatkan kinerja sebaik mungkin telah diupayakan.
Lantas bagaimana kinerja untuk Perbaikan Budaya Institusi, Manajemen Media ? Menurut pendapat saya untuk perbaikan budaya Institusi sudah berjalan dengan baik, hanya sedikit tercederai oleh perilaku sesat perwira tinggi Polri dalam kasus Djoko Chandra, dan hal lain seperti ikut sertanya perwira tinggi aktif Polri menjadi Ketua pengurus PSSI.
Sedangkan langkah kebijakan manajemen media untuk mengelola persepsi publik melalui media dan media sosial yang dilakukan institusi Polri juga sudah berjalan baik, ini dapat kita lihat diantaranya dari follower Akun @tmcpoldametro di Twitter, mencapai 7,8 juta follower dan akun @divHumas_Polri dengan 1,4 juta follower. Ini menunjukkan bahwa institusi Polri sudah menyadari bahwasannya persepsi publik terhadap Polri secara keseluruhan dapat melalui pengelolaan persepsi melalui media massa dan media sosial.
Ini sejalan dengan rilis dari Indonesia Indicator yang menyebut bahwa sepanjang 2020 ini, Polri diberitakan dalam 331.308 berita dari 2.647 media online berbahasa Indonesia. Dari keseluruhan berita terkait kinerja Kepolisian Indonesia itu, sekitar 79 persennya memiliki sentimen netral dan positif. Sementara, pemberitaan terkait Kepolisian Indonesia yang memiliki sentimen negatif sebanyak 21 persen.
Resiko Sebagai Eksekutor Kamtibmas
Ketika posisi Polri saat ini menjadi eksekutor dalam menjaga dan menegakkan Kamtibmas yang berhadapan langsung dengan masyarakat dari berbagai kelompok dan berbagai kepentingan, maka ada resiko yang tidak bisa dihindarkan. Yaitu munculnya rasa senang dari masyarakat yang kepentingannya dapat diakomodir, dan mungkin juga rasa tidak senang dari masyarakat, baik kepada Institusi Polri maupun personal Polri ketika kebetulan ada kepentingannya yang karena berbagai sebab tidak bisa di akomodir. Misalnya yang masih hangat adalah dari berbagai aktivitas masyarakat dalam merespon disahkannya RUU Cipta Kerja, baik dari mahasiswa, buruh dan masyarakat umum lainnya.
Sebagai seorang yang pernah aktif sebagai aktivis gerakan di era 90-an, dalam menentang otoritarian rezim Orba, tentu saja melihat kegiatan protes dan demonstrasi yang dilakukan oleh kelompok masyarakat yang tidak setuju dengan pengesahan RUU Cipta Kerja ini adalah hal yang biasa, wajar dan tidak ada masalah.
Indonesia sebagai sebuah negara yang telah memilih jalan demokrasi dalam hidup berbangsa dan bernegara, tentu saja harus memahami bahwa demonstrasi dan unjuk rasa adalah suatu instrumen demokrasi bagi masyarakat dalam merespon kebijakan pemerintah, baik itu respon sebagai bentuk setuju atau pun respon sebagai bentuk tidak setuju dan penolakan terhadap sebuah kebijakan pemerintah.
Tetapi untuk tindakan kekerasan dan pengrusakan fasilitas publik, apapun sebabnya, tentu sulit mencari alasannya untuk diterima akal sehat sebagai pembenar terhadap tindakan dan perilaku seperti itu.
Persoalan yang muncul dan lebih dramatis lagi terjadi ketika massa demonstran yang meyakini tindakannya itu benar, sebagai bentuk militansi dalam memperjuangkan sesuatu yang diyakininya bertemu dengan posisi anggota Polri yang karena tugas dan kewajibannya untuk tegak lurus dalam menjaga kamtibmas Sehingga dalam persepsi dan tindakan yang berseberangan ini, maka benturan fisik keduanya tak terhindarkan, hingga ada yang terluka diantara kedua belah pihak, yang tentu saja amat kita sesali bersama.
Pentingnya Penegakan KAM Selain HAM
Akibat terjadinya benturan dari massa demonstran dan petugas Kepolisian yang karena dinamika situasi dan kondisi lapangan yang tak terduga apapun dapat terjadi. Maka kemudian saat ada yang terluka terjadilah perbedaan pandang dalam perspektif penegakkan Hak Asasi Manusia (HAM), termasuk oleh lembaga negara resmi KOMNAS HAM yang menyebut dan meminta aparat kepolisian untuk lebih menghormati HAM. Hanya saja ketika ada dari pihak kepolisian yang terluka karena tindakan kekerasan saat sedang bertugas menjalankan kewajibannya, Komnas HAM tidak segera juga menyampaikan hal yang sama. Padahal itu juga pelanggaran HAM.
Karena itu, sebagai sesama anak bangsa yang tentunya sama-sama menginginkan untuk memajukan bangsa, dengan menghormati dan menghargai manusia dan kemanusiaan, seharusnya tidak selalu berkutat hanya dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), tapi juga harus bersemangat menerapkan Kewajiban Asasi Manusia (KAM), yang merupakan sebagai penyanggah untuk mencegah munculnya tindakan pelanggaran HAM.
Karena pada titik equlibrium antara KAM dan HAM, adalah sebuah kesadaran kemanusiaan. Bahwa dalam perspektif bernegara, kita tidak harus berpikir serupa, yang lebih penting adalah berpikir bersama.
Jakarta, 17 Oktober 2020
Penulis adalah Kepala Lembaga Penelitian dan Pengabdian Masyarakat Universitas Prof. Dr. Moestopo (Jakarta)