Oleh: Indra J Piliang*
Channel9.id-Jakarta. Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 21/2020 tentang Pembatasan Sosial Berskala Besar (PSBB) Dalam Rangka Percepatan Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) telah diumumkan dalam Tambahan Lembaran Negara Nomor 6487. PP PSBB menjadi payung hukum yang tinggi, kuat dan maju, dibanding peraturan perundangan setingkat. Sesuai asas hukum lex posterior derogat legi priori, PP PSBB ini telah menenggelamkan pemberlakuan darurat sipil. Sebelum PP PSBB ditetapkan, perlawanan keras hadir atas rencana darurat sipil yang sempat slip of tounge dari Istana.
PP PSBB menjadi traktat atau proklamasi negara melawan virus yang mematikan ini. PP PSBB sekaligus tembok demarkasi antara rezim demokrasi yang sedang berlangsung, berhadapan dengan rezim otoritarian yang hendak tumbuh. Film-film ala Hollywood telah menyebarkan imajinasi kolektif, betapa kekuatan jahat selalu hadir dalam epidemi atau pandemi. Mau wujud pandemi itu vampir, zombie, virus, mesin, atau alien. Bukan hanya manusia dihadapkan dengan mahkluk-makhluk jahat. Para penguasa yang ikut serta dalam turbulensi dan kekusutan itu lebih berwatak iblis lagi.
PP PSBB bakal menjadi rujukan bagi sumber-sumber hukum lain, baik yang lebih tinggi berupa peraturan perundang-undangan, peraturan pemerintah yang sederajat, ataupun peraturan presiden hingga keputusan pejabat eksekutif yang lebih rendah. PP PSBB seyogianya terhubung dengan tugas-tugas kenegaraan di bidang politik, hukum dan keamanan dalam skala global, regional dan nasional, berikut seluruh wilayah kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Perlindungan kepentingan nasional, termasuk seluruh warga negara baik yang berada di dalam atau luar negeri, adalah bagian yang paling dituju dengan PP PSBB ini. Termasuk perlindungan atas hukum dan hak asasi manusia setiap warga negara, bukan hanya bagi yang hidup, termasuk jasad buat yang tiada.
Batas-BatasWilayah
Pasal 1 yang berisi pengertian PSBB dalam PP Nomo2 21/2020 masih terbatas dalam ruang lingkup penduduk dalam wilayah NKRI. Dampak paling terasa dalam pandemi Covid-19 ini justru berasal dari kegiatan-kegiatan yang bukan hanya berskala nasional, tetapi juga regional dan global di dalam wilayah dan luar NKRI. Kalender olahraga disesuaikan dengan induk organisasi di tingkat dunia. Belum lagi kalender pariwisata yang merupakan rangkaian dari kegiatan serupa yang melintasi negara-negara yang terasosiasi. Kapal-kapal pesiar yang bergerak dari satu pelabuhan ke pelabuhan lainnya. Fans bola sepak, motor GP, Thai Boxing, hingga lomba sepatu roda yang bergerak kemana-mana.
Peserta yang hadir dalam agenda-agenda regional dan global itupun berasal dari banyak negara. Kegiatan keagamaan, misalnya, tentu mengikuti kalender global masing-masing agama. Maulid Nabi Muhammad SAW, Idul Fitri dan Idul Adha dalam agama Islam, misalnya, tidak terbatas hanya di Indonesia atau Saudi Arabia saja. Contoh, terdapat sekitar 78 orang Warga Negara Asing (WNA) yang terpaksa diisolasi di Mesjid Jamik Kebun Jeruk, Jakarta Barat, akibat tiga orang jamaah dinyatakan positif COVID-19. Warga yang positif ditengarai dihinggapi Covid-19 dalam acara Jamaah Tabligh di Malaysia dan India.
Belum lagi kehadiran yang berkaitan dengan keberadaan satu kota atau tempat. Kota suci agama-agama besar di dunia, bakal selalu didatangi para peziarah lintas negara, seperti Vatikan, Roma, Qom atau Makkah al Mukkaramah. Belum lagi kehadiran tokoh-tokoh utama agama-agama itu ke pelbagai penjuru dunia.
Pasal 2 ayat (1) PP Nomor 21/2020 yang menyebut tentang Pemerintah Daerah justru wajib dipersempit hanya untuk wilayah Provinsi. Tidak perlu provinsi disejajarkan dengan wilayah kabupaten atau kota. Pemerintahan provinsi adalah wakil dari pemerintahan pusat yang berada di daerah. Pemerintahan provinsi bukanlah pecahan demi pecahan dari pemerintahan pusat. Ketika sejumlah kewenangan pemerintah kabupaten atau kota ditarik kembali, biasanya ditaruh atau diletakkan di tingkat provinsi.
Pemerintahan provinsi juga menganut prinsip-prinsip dekosentrasi dan tugas perbantuan. Secara lebih detil, dalam tugas perbantuan itu termasuk dalam penanggulangan bencana. Status daerah istimewa atau daerah otonomi khusus, berada di tingkat provinsi, bukan kabupaten atau kota. Dibandingkan dengan kabupaten atau kota, provinsi sama sekali tak memiliki wilayah. Urusan provinsi bersifat lintas kabupaten atau kota, namun sulit ditunjukkan mana sawah dan pematangnya.
Pasal 2 ayat (3) yang berisi tentang pertimbangan PSBB lagi-lagi perlu merujuk kepada tugas dan kewenangan pemerintahan pusat yang belum didesentralisasikan, antara lain politik luar negeri, pertahanan, keamanan, agama, peradilan, moneter, hingga tata negara. Kegiatan itu antara lain pengumpulan massa komunitas keagamaan, pelatihan kader organisasi sosial politik, sampai aksi massa yang menyangkut hubungan luar negeri (seperti demo atas kerusuhan di India). Pembatasan skala itulah yang langsung terkait dengan kedaulatan negara.
Pasal 5 ayat (1), (2) dan (3) hanya perlu menyebut Gubernur. Bupati/Walikota dihilangkan. Pemerintahan pusat jangan sampai dikesankan berhadap-hadapan langsung dengan Bupati/Walikota yang bisa bermakna federatif, bukan lagi unitarian. Di samping memperpanjang rantai birokrasi, penyebutan Gubernur yang setara dengan Bupati/Walikota bakal membawa implikasi dan komplikasi di lapangan. Bagaimana kalau Bupati Pamekasan dan Gubernur Jawa Timur berbeda permintaan kepada pemerintah pusat?
Apapun, PP PSBB sudah lebih bertenaga. Sejumlah pihak sudah menjadikan PP PSBB sebagai rujukan, termasuk Keputusan Menteri Kesehatan yang memberikan izin kepada Gubernur DKI Jakarta untuk memberkakukan PSBB. Jakarta sama sekali tidak memiliki struktur pemerintahan daerah kabupaten dan kota yang sama dengan provinsi lain. Gubernur DKI Jakarta sama sekali tak perlu melakukan konsultasi dengan walikota dan bupati yang berada di DKI Jakarta.
Belum lagi struktur pemerintahan di bawah kelurahan, berupa rukun warga dan rukun tetangga. Bagi yang belajar sejarah, sistem RT/RW yang berlaku di Jakarta mengikuti sistem tonarigumi yang diberlakukan oleh balatentara pendudukan Jepang. Dengan sistem tonarigumi, struktur pemerintahan sipil bisa dimaksimalkan guna memasok kebutuhan logistik ke garis depan pertempuran. Jepang menerapkan hukuman pancung kepada sispa saja yang melakukan sabotase terhadap sistem ini.
KTP Non Jakarta
Masalahnya, DKI Jakarta bukan hanya diperuntukkan kepada warga yang memiliki Kartu Tanda Penduduk (KTP) DKI Jakarta. Jakarta masih ibukota negara. Jakarta juga tempat mencari nafkah bagi penduduk daerah-daerah lain. Sebagian penduduk non KTP DKI Jakarta itu sudah pulang kampung. Yang lain sudah siap-siap juga kembali lagi. Di lingkungan tempat tinggal penulis, semakin sulit mencari tempat pangkas rambut. Mayoritas sudah kembali ke daerah asal, misalnya Garut. Para pedagang soto asal Lamongan, semakin tak terlihat.
Yang bertahan adalah gerai-gerai makanan yang bisa diakses lewat Grab Food. Para pedagang sayur semakin langka, sulit dilihat gerobak-gerobaknya. Yang bertahan hanyalah pemain dan rombongan ondel-ondel keliling atau pengendara odong-odong dengan penumpang anak-anak dan emak-emak.
Masalahnya, apakah anggaran yang disediakan oleh Pemerintah Provinsi DKI Jakarta sanggup membiayai keseluruhan biaya yang muncul dari pemberlakukan PSBB? Selama 14 hari mendistribusikan logistik kepada warga, baik warga DKI Jakarta ataupun bukan? Bagaimana caranya agar kebutuhan pangan warga terpenuhi, tanpa perlu pergi kemana-mana?
Sudah dua-tiga hari ini Ikatan Keloarga Lima Koto dan Sekitarnya, disingkat IKALIMKOS, menyebarkan berton-ton beras kepada warganya. Warga mana? Para perantau asal IKALIMKOS Padang Pariaman, Sumatera Barat. Ismet Jaya Piliang, Ketua Umumnya, setiap saat berteriak di ujung telepon, kepada siapa saja, guna mencari bantuan. Beruntung, IKALIMKOS sudah memiliki gedung serbaguna di daerah Cipulir, Jakarta Selatan. Selain tempat kendurian (baralek) setiap Sabtu-Minggu, gedung itu juga digunakan untuk kegiatan sosial, keagamaan dan ekonomi.
Konon, jumlah penduduk Jakarta siang hari berbeda dengan malam hari. Sekitar dua juta orang penduduk keluar masuk Jakarta. Mayoritas malah bertempat tinggal dalam hunian-hunian buruk, bahkan tanpa cahaya matahari. Bilapun mereka berada di dalam hunian-hunian mewah, sudah pasti sebagian masih keluar-masuk hunian sedang atau buruk, yakni para pekerja di rumah-rumah mewah tadi. Para pekerja di hotel-hotel berbintang atau apartemen-apartemen megah, sudah pasti beasal dari kelompok yang tak bertempat tinggal di dalamnya.
Status PSBB jelas bakal mengaktifkan lagi pos keamanan lingkungan, dengan pekaian petugas-petugan pertahanan sipil atau hansip yang kini berubah menjadi Satpol PP. Selama satu bulan ini, para petugas ini kembali terlihat aktif berkeliling, tapi kebanyakan bukan dalam artian kedinasan. Yang berkeliling adalah veteran-veteran Hansip yang dikenali warga, terutama sebagai petugas pada Tempat Pemungutan Suara (TPS) dalam Pilgub dan Pemilu. Pihak Komisi Pemilihan Umum, bisa saja mengalokasikan anggaran pemilu, tapi bukan dalam wujud menjaga TPS lagi.
DKI Jakarta sedang menulis Bab III dalam sebuah karya ilmiah. DKI Jakarta justru hendak memulai intisari dari persilangan teori dengan praktek. Bab I yang berisi pendahuluan, sudah berisi latar belakang persoalan, disertai dengan pemaparan dari studi-studi yang sudah dilakukan di negara lain. Bab II yang berisi kerangka teori, telah menghadirkan seluruh nukilan, kutipan, hingga nama-nama besar di dunia ilmu pengetahuan menyangkut segala sesuatu tentang Covid-19 beserta formulasi pencegahannya. Bab III tinggal memercikkan api pertemuan antara teori dengan praktik, antara rumusan postulat dengan temuan lapangan.
Semakin rinci isian dari Bab III ini, termasuk temuan variasi lapangan, antara ujung utara yang berbatas dengan pelabuhan, dengan daerah pinggiran yang berarti bukan benteng berjeruji yang berbatasan dengan Bogor, Depok, Tangerang dan Bekasi, semakin baik bagi masa depan ilmu pengetahuan. Jakarta jelas berbeda dengan China yang bisa menutup satu kota dengan puluhan juta penduduk di dalam. China sudah berpengalaman sebagai negara tertutup, dengan sebutan tirai bambu. Dalam era Deng Xia Ping, China menjalankan dualiasme ekonomi: area pantai dibuka, area pedalaman tetap ditutup. Satu kota dengan kota lain sudah terbiasa melewati gerbang kota yang kokoh. Jakarta? Bukan seperti itu.
PSBB bukanlah PSPB. Apa itu PSPB? Pendidikan Sejarah Perjuangan Bangsa. Namun, dalam medan perang yang luar biasa ini, PSBB mana tahu akan menjadi PSPB dalam artian yang sebenarnya pada generasi nanti. Sebab, pada saat PSBB sedang ditulis, bakal terdapat korban-korban yang sedang menulis. Para dokter, para perawat, para petugas, pun para korban positif. Bangsa ini sedang menunggu, dalam waktu dua minggu pertama, coretan dari kejadian demi kejadian di lapangan, nanti. Bismillah. Wallahu’alam…
*Ketua Umum Perhimpunan Sangga Nusantara