Politik

Raja Belanda Minta Maaf, Politikus PDIP: Pengakuan atas Kedaulatan Indonesia

Channel9.id-Jakarta. PDIP menilai permintaan maaf Raja Belanda, Willem Alexander atas kekerasan saat agresi Militer I dan II usai proklamasi kemerdekaan Indonesia sebagai bentuk pengakuan atas kedaulatan negara. Permintaan maaf tersebut harus dimaknai dalam konteks kesejarahan.

“Yang jelas, permintaan maaf tersebut menunjukkan penghargaan Belanda kepada kedaulatan kita, juga apresiasi terhadap posisi dan peran Indonesia yang meningkat dalam fora Internasional,” ujar politikus PDIP Hendrawan Supratikno kepada wartawan, Rabu (11/3).

Hendrawan menilai permintaan maaf tersebut harus dimaknai secara historis. Menurutnya, sebelum tahun 2005, Belanda senantiasa menyebut Indonesia merdeka pada 27 Desember 1949.

“Permintaan maaf tersebut harus dimaknai dalam konteks dan perspektif kesejarahan. Sebelum 2005, Belanda selalu menyebut Indonesia baru merdeka 27 Desember 1949, bukan 17 Agustus 1945,” katanya.

Ia menyebut Agresi Militer I dan II Belanda merupakan suatu tindakan heroik untuk menjaga stabilitas politik Belanda saat itu. Namun, menurut Hendrawan permintaan maaf tersebut menunjukkan Belanda sadar bahwa aksi militer mereka di masa lampau adalah tindakan brutal terhadap negara yang baru merdeka.

“Jadi bagi mereka, kekerasan dan aksi militer 1947 dan 1948, dianggap tindakan heroik untuk memelihara stabilitas politik dan sosial. Dengan permintaan maaf tersebut, selain meneguhkan pengakuan terhadap kemerdekaan Indonesia, Belanda sadar bahwa aksi-aksi saat itu masuk kategori kebrutalan terhadap negara yang baru merdeka,” sebut dia.

Hendrawan pula menyatakan Belanda tak pernah meminta maaf atas penjajahan yang mereka lakukan selam 350 tahun. Ada tiga hal yang melandasi Belanda enggan meminta maaf.

“Untuk yang masa penjajahan, sekitar tiga abad, memang tak pernah secara langsung meminta maaf. Konon alasannya ada tiga. Pertama, Indonesia belum lahir sebagai suatu negara bangsa,” jelas Hendrawan.

Poin kedua menurut Hendrawan karena pada kenyataannya Indonesia dijajah oleh organisasi dagang Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) yang diboncengi oleh Belanda. Namun Hendrawan menyerahkan analisa tersebut kepada ahli sejarah.

“Kedua, yang secara riil menjajah adalah organisasi dagang (VOC) yang didukung kekuatan negara. Ketiga, penjajahan tersebut menghasilkan efek neto keuntungan bagi negara yang dijajah. Aneh memang. Para sejarawan tentu punya telaah yang lebih tepat,” pungkasnya.

(virdika rizky utama)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

9  +  1  =