Opini

Redenominasi Suatu Kebijakan Strategis ?

Oleh: Dr. Usmar. SE., MM

Channel9.id – Jakarta. Sebenarnya isu ini sudah mulai dibicarakan sekitar 9 tahun lalu, dimana saat itu Pemerintah SBY sekitar bulan maret 2011 menyetujui rancangan Redenominasi. Kemudian pada tanggal 30 Juni 2020 ramai kembali didiskusikan setelah terbitnya Peraturan Menteri Keuangan Nomor 77/PMK.01/2020, yang mengusulkan agar rancangan undang-undang (RUU) redenominasi rupiah masuk dalam Program Legislasi Nasional 2020-2024.

Secara konsep Redenominasi adalah suatu proses dimana sebuah negara, dalam konteks ini adalah Indonesia untuk melakukan Penyederhanaan Penulisan, Penyebutan dan Pencatatan transaksi kedepannya dimana akan membuang tiga nol di belakang mata uang rupiah dengan tidak mengurangi nilai dari sebuah transaksi.

Misalnya sekarang kita punya uang Rp. 500,000,- (Lima ratus ribu rupiah), maka setelah Redenominasi uang kita akan menjadi “hanya” Rp. 500,- (Lima ratus rupiah) mata uang baru. Tetapi nilai Lima ratus rupiah baru ini tetap bisa dipakai untuk membeli barang/jasa yang nilainya setara dengan Lima ratus ribu rupiah.

Dalam jangka panjang Redenominasi adalah suatu kebijakan yang Strategis dan bermanfaat bagi sebuah bangsa untuk menaikkan martabat negara dan bangsa yang mengeluarkan kebijakan tersebut. Dalam konteks ini adalah Negara Indonesia dan Mata Uang Rupiah, dengan catatan kita mampu melakukan kebijakan tersebut dengan baik dan sukses.

Kebijakan Redenominasi ini pun baru dapat dilihat dan dirasakan paling tidak butuh waktu sekitar 5-10 tahun. Sebagai komparasi, Turki dengan mata uang Liranya butuh waktu sekitar 10 tahun dan sukses dilakukan pada tahun 2005 lalu.

Permasalahannya di negara kita ada satu memori kolektif masyarakat secara psikologis yang melihat negatif peristiwa seperti ini. Seperti ketika pada tahun 1959-1966 untuk mengatasi Hyper Inflasi, pemerintah melakukan Sanering atau pemotongan nilai uang, dimana nilai uang Rp.500 (lima ratus rupiah) menjadi Rp.50 (Lima puluh rupiah) dalam artian fisik dan nilai intrinsiknya yang berlaku. Akibat kebijkan tersebut masyarakat merasa di “Rampok” oleh pemerintah terhadap kekayaan mereka.
Karena itu ada dua hal yang harus dilakukan Pemerintah, jika ingin kebijakan tersebut sukses, yaitu;

Pertama, Harus melakukan sosialisasi secara masif dan terus menerus untuk meyakinkan masyarakat dan menjelaskan bahwa REDENOMINASI sangat Berbeda dengan SANERING. Kalau hal ini gagal dilakukan maka justru akan mengakibatkan Hyper Inflasi dan membuat kepanikan yang luarbiasa dimasyarakat.

Kedua, pemerintah harus mengarahkan semua perangkat penegak hukumnya untuk mencegah para pedagang dan spekulan yang meanfaatkan situasi ini dengan menaikkan harga yang mungkin tidak disadari oleh masyarakat. Misalnya tadinya sebuah sepeda motor berharga Rp.12 juta setelah redominasi menjadi hanya Rp.12 ribu, dan ketika para pengusaha dan spekulan menaikkan harga menjadi Rp.20 ribu masyarakat pun merasa masih murah, padahal sudah dinaikkan sekitar 75% dari harga semula saat belum dilakukan Redominasi tersebut.

Jika kedua hal tersebut gagal dilakukan Pemerintah dengan baik, maka justru akan memunculkan suatu situasi kepanikan (panic buying) yang akan berdampak terjadinya Hyper Inflasi. Seperti yang pernah terjadi di Rusia, Brazil dan Zimbabwe.

Dan pertanyaan terpenting yang harus dijawab adalah apakah saat ini kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah masih dan cukup tinggi untuk mengeluarkan kebijakan yang secara ekonomi cukup fundamental tersebut ?

Jakarta, 10 Juli 2020

Penulis: Pengamat Kebijakan Publik Universitas Moestopo, Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

82  +    =  86