Channel9.id – Jakarta. Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) merilis refleksi pendidikan Indonesia sepanjang tahun 2020 di masa pandemi Covid 19.
Salah satu masalah pendidikan yang disorot oleh FSGI yakni terkait Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ). Kepala Divisi Litbang FSGI Eka Ilham menyampaikan, pada prinsipnya penyelenggaraan PJJ di masa Pandemi Covid-19 tahun 2020 yang dilakukan, membuka sebuah kondisi perbedaan yang mencolok antara siswa miskin dan kaya.
Hal itu didasarkan pada sejumlah hal yang ditemukan oleh FSGI. Dalam studi kasus, dari tiga puluh siswa dalam satu kelas hanya tiga sampai sepuluh orang yang merespon kegiatan pembelajaran daring melalui Google Classroom dan WA.
“Alasannya, siswa sebagian besar tidak memiliki gawai handphone atau android kalaupun ada itu punya bapak, ibu atau kakaknya yang setiap saat tidak berada di rumahnya. Tidak memiliki kuota internet. Jaringan lelet karena letak geografis sebagian siswa pada khususnya Kabupaten Bima daerah 3 T akses internetnya sulit jangkauannya,” kata Eka, Selasa 29 Desember 2020.
Di samping itu, Eka melanjutkan, PJJ mengalami kendala karena tidak terbiasanya siswa berselancar dengan pembelajaran online/daring.
Kemudian, beberapa kepala sekolah setiap satuan pendidikan belum maksimal mengeluarkan dana BOS untuk peruntukan penyiapan pelaksanaan PJJ baik secara daring dan luring.
“Sampai saat ini dari beberapa penuturan guru yang berada di kabupaten Bima masih menggunakan biaya pribadi baik guru maupun siswa menggunakan paket internet biaya pribadi otomatis berpengaruh pada proses pembelajaran daring,” katanya.
Kemudian, dalam satu minggu pembelajaran daring/pemberian materi hanya satu dan dua kali dilakukan mengingat siswa tidak memiliki paket internet dan persoalan gawai handphone. Belum lagi, siswa merasa terbebani dengan banyaknya tugas yang diberikan guru-gurunya.
Melihat dari kondisi tersebut, FSGI melihat pembelajaran daring sangat tidak efektif dilaksanakan selama pandemi ini. Solusinya para guru harus rela kembali mengunjungi siswa untuk memberikan modul dan lembar kerja siswa ke rumah-rumah terutama bagi siswa yang tidak memiliki gawai handphone atau android. Hal ini berlaku pada daerah- daerah yang letak geografis jauh dari jangkauan akses internet.
Selain itu, PJJ membuat turunnya minat dan motivasi belajar siswa karena rasa bosan. Apalagi, bantuan paket internet bagi guru dan siswa sepenuhnya tidak didapat oleh sebagian siswa dan guru.
“Kalaupun ada kebijakan paket internet gratis yang dibagikan oleh Kemendikbud RI, FSGI mengapresiasi langkah tersebut namun fakta di lapangan tidak seluruhnya digunakan oleh siswa dan guru. Hal ini terkendala pada input data handphone siswa oleh operator sekolah ke dapodik karena setiap siswa tidak semuanya memiliki gawai,” kata Eka.
Padahal, kata Eka, jutaan anak Indonesia saat ini terkurung di rumah, dan para orangtua cemas terhadap efek jangka panjang pada anak-anak akibat terisolasi di rumah, kehilangan hak bermain, kesempatan bersosialisasi dan terlalu lama beristirahat dari kegiatan akademik dan ekstrakurikuler di sekolah.
Data survei Pembelajaran Jarak Jauh (PJJ) fase 1 yang dilakukan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) bekerjasama dengan Federasi Serikat Guru Indonesia pada April 2020 dan diikuti 1700 siswa, menunjukkan 77,8% responden siswa tidak senang belajar dari rumah.
“PJJ adalah “hal baru” bagi anak, orangtua, ataupun sekolah. Ibaratnya, tidak ada satu pihak pun yang memiliki bekal cukup untuk menjalaninya, baik secara pedagogis maupun psikologis. Oleh karena itu, tidak mengherankan jika Survei KPAI dengan FSGI yang disebarkan melalui jaringan SGI di seluruh daerah Indonesia terkait PJJ fase pertama berjalan tidak efektif dan 77,8% responden siswa mengeluhkan kesulitan belajar dari rumah dengan rincian: 37,1% siswa mengeluhkan waktu pengerjaan yang sempit sehingga memicu kelelahan dan stres; 42% siswa kesulitan daring karena orangtua mereka tidak mampu membelikan kuota internet, dan 15,6% siswa mengalami kesulitan daring karena tidak memiliki peralatan daring, baik handphone, komputer PC, apalagi laptop,” lanjutnya.
Bahkan, orangtua juga ikut tertekan saat mendampingi anak-anaknya melakukan PJJ secara daring, karena harus mengingatkan berbagai tugas belajar, mana yang sudah dikerjakan dan mana yang belum.
“Itupun berlaku bagi orangtua yang menjadi PAHLAWAN TANPA TANDA JASA menggantikan peran guru di sekolah selama pandemi covid-19. Orangtua juga harus mengirim tugas-tugas anaknya kepada gurunya dalam bentuk foto dan video. Terbayang beratnya jika orangtua memiliki anak lebih dari satu yang bersekolah, termasuk beratnya kuota internet yang harus ditanggung orangtua,” pungkas Eka Ilham.
(HY)