Channel9.id, Jakarta – Langkah Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) yang membekukan rekening tidak aktif atau dormant memicu perdebatan di tengah masyarakat dan parlemen. Di satu sisi, kebijakan ini dinilai sebagai bentuk perlindungan terhadap penyalahgunaan rekening oleh pelaku kejahatan keuangan. Di sisi lain, muncul kekhawatiran bahwa negara terlalu jauh mencampuri ranah privasi keuangan warganya.
Kepala PPATK Ivan Yustiavandana menyatakan bahwa pemblokiran ini bertujuan untuk melindungi nasabah dari praktik-praktik ilegal seperti penjualan rekening, peretasan, dan pencucian uang. “Negara hadir untuk melindungi pemilik rekening dari penyalahgunaan oleh pihak tidak berwenang,” ujarnya, Selasa (29/7/2025).
Dalam satu dekade terakhir, PPATK mengidentifikasi lebih dari 140 ribu rekening pasif dengan nilai transaksi mencapai Rp428,37 miliar. Data ini, menurut Koordinator Substansi Humas PPATK M. Natsir Kongah, menunjukkan celah serius dalam sistem keuangan yang rawan dimanfaatkan untuk kejahatan.
Namun, tidak semua pihak menyambut positif langkah ini. Anggota Komisi XI DPR RI Melchias Marcus Mekeng mengkritik kebijakan PPATK sebagai bentuk intervensi berlebihan.
“Ada orang yang sengaja menyimpan uang di rekening pribadi untuk tujuan tertentu. Tidak berarti itu harus dibekukan,” katanya.
Senada dengan itu, anggota Komisi III DPR RI Hinca Pandjaitan menilai isu ini terlalu sensitif untuk diumumkan secara sepihak di media sosial. Ia menyatakan akan meminta penjelasan langsung dari PPATK. “Langkah ini baik secara niat, tapi belum dijelaskan secara menyeluruh ke publik. Maka wajar kalau muncul reaksi,” ujarnya.
Di sisi lain, Wakil Ketua Komisi III DPR RI Rano Alfath justru mendukung langkah tersebut. Ia menilai pemblokiran sementara bisa menjadi bagian dari upaya pencegahan yang lebih besar. “Lebih baik mencegah sejak awal ketimbang masyarakat menjadi korban atau tanpa sadar terlibat tindak pidana,” jelasnya.
YLKI Ingatkan Risiko Terhadap Konsumen
Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) mengingatkan PPATK agar tidak menerapkan pendekatan satu ukuran untuk semua (one-size-fits-all). Sekretaris Eksekutif YLKI Rio Priambodo menyatakan bahwa banyak masyarakat sengaja membiarkan tabungannya tidak aktif untuk keperluan tertentu. “Rekening pasif bisa jadi merupakan dana cadangan, biaya pendidikan, atau keperluan jangka panjang,” ujarnya.
YLKI juga meminta PPATK membuka jalur komunikasi yang efektif, seperti layanan hotline atau crisis center, agar konsumen yang terdampak bisa mendapat informasi dan solusi cepat.
Perdebatan ini menegaskan pentingnya keseimbangan antara keamanan sistem keuangan dan perlindungan hak konsumen. Pemerintah dan otoritas keuangan dituntut untuk menjalankan kebijakan secara lebih selektif, transparan, dan partisipatif agar tidak menciptakan ketakutan atau kebingungan di kalangan masyarakat.
Ke depan, dialog terbuka dan pendekatan berbasis risiko mungkin menjadi kunci agar perlindungan terhadap sistem keuangan nasional dapat berjalan tanpa mengorbankan hak-hak warga negara atas kendali terhadap aset pribadinya.