Oleh: Awalil Rizky*

Channel9.id-Jakarta. Defisit APBN 2019 dilaporkan sebesar Rp353 triliun pada tanggal 7 Januari lalu. Kementerian keuangan mencoba menjelaskan bahwa capaian itu tidak terlampau jauh dari target. Yang dikedepankan adalah realisasi 2,2% dari PDB dibandingkan targetnya yang 1,84%. Padahal, selisihnya secara nominal terbilang cukup besar, yaitu Rp57 triliun.
Realisasi APBN selama era reformasi memang selalu mengalami defisit. Total belanja negara lebih besar dibandingkan dengan pendapatan. Nilai defisit berfluktuasi, atau tidak selalu bertambah. Sejak tahun 2011 hingga tahun 2017, kenaikan belanja lebih tinggi dibanding kenaikan pendapatan. Defisit secara nominal cenderung makin lebar.
Hal sebaliknya terjadi pada tahun 2018, sehingga nominal defisit turun. Sayangnya, defisit tahun 2019 kembali meningkat. Bahkan, merupakan rekor defisit terbesar secara nominal.
Pemerintah nyaris tak pernah mengedepankan nilai nominal defisit sebagai alat analisis ataupun narasi penjelasan kepada publik. Ukuran yang dipakai adalah persentase atau rasio defisit atas Produk Domestik Bruto (PDB). PDB dianggap mewakili besaran pendapatan nasional.
Rasio defisit APBN atas PDB cukup berfluktuasi dari tahun ke tahun. Rasio defisit tahun 2019 sebesar 2,20%. Rata-rata rasio defisit pada periode Jokowi I (2015-2019) sebesar 2,31%. Jauh lebih lebar dibanding periode SBY I (2005-2009) yang hanya 0,80%. Masih lebih lebar pula dari periode SBY II (2010-2014) yang sebesar 1,58%.
Defisit secara nominal dan secara rasio sebenarnya berhasil ditekan pada tahun 2018. Sri Mulyani semula mengklaim sebagai kinerja luar biasa, menjadi defisit paling rendah sejak tahun 2012. Klaim berdasar laporan realisasi sementara pada awal Januari 2019, yakni sebesar 1,72% dari PDB. Sedangkan defisit tahun 2012 tercatat 1,78%. Secara nominal, defisitnya sebesar Rp259,9 triliun.
Tatkala Laporan Keuangan Pemerintah Pusat (LKPP) telah diselesaikan dan kemudian diaudit oleh BPK, defisit nominal bertambah sebanyak Rp9,5 trilun menjadi Rp269,4 triliun. Sedangkan rasio atas PDB naik menjadi sebesar 1,82% dari PDB.
Meski defisit dalam LKPP 2018 audited ternyata lebih lebar dari laporan sementara, namun hal sebaliknya terjadi pada tahun 2017.
Faktor yang membuat perbedaan signifikan antara laporan sementara dengan yang audited pada tahun 2018 adalah besaran Belanja. Dapat dikatakan, ada beberapa Belanja yang belum terlaporkan. Sedangkan dalam hal pendapatan, perubahan hanya kecil.
Belanja yang semula dilaporkan Rp2.202,2 triliun, bertambah Rp11,1 triliun menjadi Rp2.213.1 triliun. Sedangkan Pendapatan hanya bertambah Rp1,4 triliun.
Pada tahun 2017, perbedaan signifikan terdapat pada laporan tentang Pendapatan, yang bertambah sebesar Rp10,6 triliun. Antara lain karena soal administrasi kebijakan tax amnesty saat itu. Sedangkan tambahan dari Belanja yang kemudian terlaporkan sebesar Rp5,8 triliun.
LKPP 2019 APBN sendiri baru akan diketahui beberapa bulan lagi. Dan yang telah diaudit akan terpublikasi bulan Mei. Defisit definitif tampaknya akan lebih besar dari yang sementara.
Pendapatan yang belum terlaporkan kemungkinan tidak banyak, mengingat telah ada upaya keras sebulan terakhir untuk menggenjotnya. Tidak ada program tax amnesty seperti tahun 2017 yang menyisakan penyesuaian administrasi signifikan hingga hari terakhir tahun berjalan.
Pengecualian adalah jika ada yang belum tercatat dari upaya “injak kaki” wajib pajak kelas kakap yang dipersuasi untuk bayar lebih. Kelebihan bayar itu tetap dicatat sebagai pendapatan 2019, meski akan memperoleh restitusi pada tahun berikutnya.
Sementara itu, belanja definitif dapat dipastikan akan lebih besar dibandingkan laporan yang bersifat sementara. Kemungkinan bertambah sekitar Rp10 triliun.
Dengan pertimbangan tersebut, defisit definitif secara nominal dari APBN 2019 dapat mencapai Rp360 triliun. Rasionya atas PDB yang presisi masih bergantung realisasi setahun yang akan dipublikasikan BPS pada bulan Februari mendatang.
Perhitungan saat ini berdasar asumsi PDB harga berlaku sebesar Rp16.045 triliun. Jika ternyata setara, maka rasionya akan menjadi 2,24%. Jika nilai PDB lebih besar, maka rasionya dapat sedikit turun. Dan sebaliknya.
Penulis memprakirakan PDB harga berlaku akan lebih rendah dari asumsi itu, kemungkinan sekitar Rp15.900 hingga Rp16.000 triliun. Pada akhirnya, rasio defisit yang definitif akan sekitar 2,25%. Lebih besar dari laporan sementara yang sebesar 2,20%.
Defisit itu masih dalam batas yang diperbolehkan oleh undang-undang. Pemerintah menjelaskan bahwa kondisinya tetap terjaga dan telah dilakukan secara terukur, sebagai bentuk countercyclical pelemahan ekonomi.
Bagaimanapun, rekor defisit nominal telah tercipta. Dan secara rasio atas PDB juga makin lebar. Ruang untuk “manuver fiscal” menyempit pada tahun 2020.
Semoga kondisi perekonomian tidak jauh lebih buruk dari prakiraan Nota Keuangan dan APBN 2020.
*Chief Economist Institut Harkat Negeri