Channel9.id – Jakarta. Ketua Umum Relawan Gerakan Indonesia untuk Jokowi (GIJOW) Ates Pasaribu menyebut kasus dugaan korupsi proyek BTS 4G yang melibatkan Menkominfo nonaktif Johnny G Plate, merupakan masalah ekonomi politik yang kompleks dengan implikasi yang luas.
Menurutnya, di satu sisi, ini adalah kasus korupsi yang jelas, di mana dana publik digelapkan untuk keuntungan pribadi. Di sisi lain, hal itu juga merupakan cerminan dari ekonomi politik Indonesia yang lebih luas, yang ditandai dengan lemahnya kelembagaan dan tingginya tingkat korupsi.
“Ekonomi politik Indonesia telah dibentuk oleh sejarah kolonialisme dan otoritarianisme. Negara ini diperintah oleh Belanda selama lebih dari 300 tahun, dan kemudian oleh serangkaian rezim otoriter setelah kemerdekaan. Warisan ini membekas dalam masyarakat Indonesia, sehingga sulit untuk membangun institusi yang kuat dan menegakkan supremasi hukum,” kata Ates dalam keterangan tertulis yang diterima, Senin (3/7/2023).
Korupsi memang menjadi masalah utama di Indonesia. Menurut Transparency International, Indonesia menempati peringkat 102 dari 180 negara dalam Indeks Persepsi Korupsi. Artinya, Indonesia dianggap lebih korup dibandingkan sebagian besar negara di dunia.
“Kasus korupsi BTS merupakan gejala dari masalah korupsi yang lebih luas di Indonesia. Ini adalah pengingat bahwa ekonomi politik negara masih berjuang untuk mengatasi warisan kolonialisme dan otoritarianisme,” paparnya.
Ates menilai, kasus tersebut juga berimplikasi pada masa depan Indonesia. Ia mengatakan, jika pemerintah tidak mampu mengatasi korupsi secara memadai, hal itu akan terus merusak pembangunan ekonomi negara dan kemajuan sosial.
Selain faktor ekonomi politik di atas, kasus korupsi BTS juga bisa dilihat sebagai cerminan dari kekuatan kepentingan pribadi di Indonesia.
“Industri telekomunikasi adalah sektor yang menguntungkan, dan ada kepentingan kuat yang diuntungkan dari korupsi di sektor ini. Kepentingan-kepentingan ini mungkin berperan dalam memfasilitasi korupsi yang terjadi di proyek BTS,” ujarnya.
Lebih lanjut, Ates menyebut kasus korupsi BTS merupakan skandal serius yang merusak reputasi pemerintah Indonesia. Kasus ini juga menjadi pengingat akan tantangan yang dihadapi Indonesia dalam membangun institusi yang kuat dan memerangi korupsi.
Oleh karenanya, lanjut Ates, hasil dari kasus ini akan diawasi ketat oleh masyarakat Indonesia dan dunia internasional.
Menurutnya, kasus korupsi BTS ini berimplikasi pada aspek ekonomi yang kemudian berdampak pada tiga hal. Pertama, korupsi dalam proyek pembangunan BTS dapat memiliki dampak langsung pada infrastruktur telekomunikasi. Ia mengatakan, dana yang seharusnya digunakan untuk membangun BTS dan memperluas jangkauan layanan telekomunikasi dapat disalahgunakan.
“Hal ini dapat menghambat pertumbuhan industri telekomunikasi, mengganggu kualitas sinyal, dan menunda peningkatan konektivitas di daerah yang membutuhkan,” tutur Ates.
Kedua, gangguan pada Iklim Investasi. Ates menerangkan, kasus korupsi yang melibatkan seorang menteri dapat menciptakan ketidakpastian dan ketidakpercayaan bagi investor. Ketidakstabilan politik dan persepsi korupsi yang tinggi pun dapat mengurangi minat investor dalam sektor telekomunikasi.
“Hal ini berpotensi menghambat pertumbuhan industri, peningkatan teknologi, dan penciptaan lapangan kerja baru yang berhubungan dengan sektor tersebut,” imbuhnya.
Ketiga, kerugian keuangan negara. Ates menyebut, korupsi dalam proyek pembangunan BTS mengindikasikan bahwa dana publik yang seharusnya digunakan untuk kepentingan masyarakat, dialihkan ke pihak yang tidak berwenang.
“Hal ini berdampak langsung pada kerugian keuangan negara dan dapat membatasi kemampuan pemerintah untuk membiayai proyek dan program penting lainnya, termasuk di sektor infrastruktur dan pelayanan publik,” pungkasnya.
Selain aspek ekonomi, Ates mengatakan kasus korupsi ini juga berimplikasi pada aspek politik yang kemudian berdampak pada dua hal.
Pertama, kredibilitas pemerintah. Menurutnya, keterlibatan seorang menteri dalam kasus korupsi BTS akan merusak kredibilitas pemerintah dan lembaga terkait. Kasus ini pun dapat memicu keraguan masyarakat terhadap komitmen pemerintah dalam memberantas korupsi dan menegakkan hukum.
“Hal ini juga dapat berdampak pada dukungan politik terhadap pemerintah, terutama jika persepsi korupsi terhadap pejabat tinggi semakin meningkat,” ungkapnya.
Kedua, ketidakstabilan politik. Ates menyebut kasus korupsi yang melibatkan seorang menteri dapat memicu ketidakstabilan politik dalam pemerintahan. Partai politik yang terkait dengan menteri yang terlibat dalam kasus ini mungkin menghadapi tekanan untuk mengambil tindakan, seperti pengunduran diri menteri tersebut.
“Hal ini dapat berdampak pada dinamika politik di pemerintahan dan mempengaruhi stabilitas kebijakan,” jelas Ates.
Dari berbagai pertimbangan diatas, tidak kalah penting adalah tindakan korupsi yang melibatkan pejabat publik, termasuk Menteri, dapat dianggap sebagai pengkhianatan terhadap cita-cita reformasi 1998 di Indonesia. Reformasi tersebut adalah perjuangan yang dilakukan oleh rakyat Indonesia untuk mengakhiri pemerintahan otoriter dan korupsi yang meluas.
Oleh karena itu, menurut Ates, tindakan jaksa penuntut umum dan lembaga penegak hukum lainnya dalam menangani kasus korupsi tersebut sangat penting.
“Mereka harus menunjukkan komitmen yang kuat untuk melindungi kepentingan publik, mempertahankan integritas institusi, dan memastikan bahwa pelaku korupsi diadili sesuai dengan hukum,” tegas Ates.
Dalam konteks ini, penegakan hukum yang adil dan tegas terhadap korupsi tidak hanya merupakan kewajiban hukum, tetapi juga merupakan komitmen untuk membangun pemerintahan yang bersih dan bertanggung jawab.
“Dengan menegakkan hukum secara adil, kita dapat memperkuat semangat reformasi 1998 dan mengembalikan kepercayaan publik terhadap institusi negara,” pungkasnya.
Baca juga: Kasus Korupsi BTS Kominfo, Kejagung Sita Aset Milik Johnny Plate dan Tersangka Lain
HT