Opini

Renaitre Giri Basuki

Oleh: Yulianto Liestiono*

Channel9.id-Jakarta. Ketika rasa indah dalam sebuah karya itu kekal berada di dalamnya. Maka karya seperti   itu dapat digolongkan sebagai karya seni. Lie Che Hiu 1957

Kutipan di atas bisa jadi ingin mengatakan atau menerangkan, apa dan di mana beda karya seni dan bukan karya seni. Atau dari sudut pandang yang berbeda, kutipan di atas bisa digunakan sebagai cara atau alat tentang apa yang disebut karya seni.

Walau pada kenyataannya ada pula pendapat yang mengatakan bahwa setiap karya manusia itu adalah karya seni. Seni khususnya seni rupa bisa jadi adalah jenis kesenian yang tidak memiliki alat ukur baku untuk menentukan sebuah karya seseorang masuk ke dalam karya seni atau bukan. Dengan demikian ”Kadar Seni” dalam sebuah karya seseorang tak mudah untuk diukur secara umum. Klaim atau lebih tepatnya pernyataan pendapat tentang kadar seni dalam sebuah karya seni rupa seseorang biasanya bersifat individual/subyektif atau hanya diakui oleh kelompok tertentu. Pendapat tentang karya seni rupa seseorang atau kelompok bisa jadi tidak dapat diterima oleh orang atau kelompok lainnya.

Pertentangan tentang ukuran seni rupa seperti ini bisa jadi sudah merupakan gen atau kodrat keberadaan seni rupa . Hingga saya merumuskan bahwa sesungguhnya seni, khususnya seni rupa adalah sebuah Ilmu yang mempelajari dan mengakomodasi ketidak pastian. Kebenaran dalam seni rupa bersifat dinamis (dapat berubah), personal / kelompok dan tidak mutlak.

Dalam dunia seperti ini, seni rupa bisa jadi menjadi sangat menarik bagi sebagian orang, Karena setiap orang bebas mengekspresikan dirinya, baik dengan cara yang baku, umum atau sebaliknya. Namun juga dapat membingungkan bagi sebagian masyarakat lainnya, karena mereka menjadi ragu dan gamang untuk berkarya, dan tak tahu bagaimana sebenarnya cara untuk memahami karya atau lukisan. Karena bisa jadi ada karya dengan corak realistis dengan teknik yang rumit, dinilai/dihargai lebih murah jika dibandingkan dengan lukisan abstrak yang seolah dibuat dengan cara sembarangan dan asal coret.

Giri Basuki adalah salah satu seniman Jakarta yang cukup lama saya kenal. Saat ini ia mengadakan pameran seni rupa (tidak saya sebut sebagai seni lukis) karena beberapa karyanya menggunakan media yang tidak lazim seperti bodi sepeda, sepatu/papan seluncur salju. Sedangkan karya yang ditampilkan dengan media konvensional (kanvas dan cat) ia eksekusi dengan berbagai corak. Ada yang naratif, simbolis, abstrak dan lainnya.

Model pameran seni rupa dengan berbagai macam media serta berbagai “cara ungkap” seperti yang Giri lakukan saat ini, bisa jadi belum pernah kita temukan/dilakukan sebelumnya dalam sebuah pameran seni rupa. Pameran seni rupa sampai saat ini “masih percaya” akan cara berpameran dengan konsep pameran yang harus memamerkan karya dengaan corak atau cara ungkap yang “berkepribadian” dalam pengertian memiliki corak dan gaya yang khas yang dimiliki seniman yang berpameran. Sehingga kadang mereka juga menggunakan corak yang disampaikan sebagai salah satu kata kunci pamerannya, semisal pameran relisme modern karya si Anu, bisa juga pameran abstrak ekspresif karya si Badu dan lainnya.

Pada pemeran karya Giri di IFI Jl Wijaya Jakarta 15 Nov – 14 Desember 2022 dengan judul “Renaitre” yang berarti Lahir Baru, bisa jadi akan menimbulkan banyak kotroversi terhadap apa yang dipamerkan. Penikmat seni yang menggunakan paradikma konvensional akan tersentak dan berpikir lebih serius untuk dapat mencerna pameran yang “tidak lagi menggunakan kotak aturan lama”. Lompatan cara berpikir atau tepatnya bersikap seperti ini, menurut saya sudah ada pada pribadi Giri sejak dulu. Saya mengenalnya sudah lebih dari duapuluh tahun dan selalu mengikuti perkembangan karyanya. Di awal Giri melukis dan saya kagumi karyanya, adalah ketika ia menggunakan corak abstrak yang sangat liar dan ia olah pada dua media (kanvas dan acrylic bening) yang ia susun menjadi satu kesatuan yang baru. Efek lelehan cat di kanvas yang terhalang oleh acrylic bening yang juga ia lumuri cat menimbulkan sensasi unik, baru dan menyegarkan. Banyak karya Giri pada periode ini yang dengan mudah diterima oleh para pencinta lukisan. Karyanya menjadi enak dipandang, unik dan menumbuhkan kebaruan.

Namun demikian Giri Basuki toh tidak “terjebak” pada kemapanan berkarya dengan “ragam yang sudah ia temukan dan miliki”. Pada pamerannya di TIM dan juga di Cemara Galeri beberapa waktu kemudian, Giri tak lagi menggunakan pola lama yang menggunakan acrylic bening, melainkan lebih mengekspolorasi ruang ruang yang kosong dan puitis.

Ekspresi liar pada periode sebelumnya sepertinya ia “buang” begitu saja karena ia telah menemukan ruang pencarian baru yang lebih romantis dan subtil. Barangkal kehidupan berkeluarga sangat mempengaruhi ekspresinya, Pada karya di Cemara Galeri saya melihat karya Giri mencerminkan pemikiran dan perasaan yang lebih dewasa, santun dan tidak memberontak. Karyanya cenderung lembut dan berpuisi, karena ia menceritakan banyak hal  dengan sedikit bahasa rupa. Ruang-ruang hampa yang ia tampilkan seperti memberi kesempatan pemirsanya untuk ikut merasakan kedamaian yang ada pada karyanya.

Waktu terus berjalan, banyak kejadian yang kami lalui bersama. Kadang kami berdiskusi tentang seni, tak jarang membahas kehidupan nyata dan bagaimana cara hidup yang lebih baik. Pada intinya kami sering membahas apa saja dan tidak hanya terkurung dalam persoalan seni rupa. Dengan demikian kami dapat memperoleh wawasan lebih luas yang bermanfaat bagi kehidupan.

Giri basuki menurut saya termasuk seniman yang sangat terbuka dan berorientasi ke depan, juga tetap dapat menjaga warisan budaya “ibunya”: persoalan wayang dan semacamnya telah menjadi dasar atau fondasi berkeseniannya. Bisa jadi ia sering juga menggunakan komposisi warna yang ada dalam tokoh wayang, ia tebarkan dengan bebas di atas kanvasnya. Juga, ia sering melukis dengan sangat “rasionil” dalam arti menggambar objek secara nyata, seperti lambang kunci dan lainnya.

Dinamika pada karya Giri pada pameran kali ini, menurut saya, adalah langkah baru atau bisa juga disebut kelahiran baru dari Giri Basuki dalam berkesenian. Kelahiran yang tentunya selalu mengandung risiko dan harapan tersendiri. Tanpa “kelahiran baru” bisa jadi seniman itu telah “berhenti dan mati”. Banyak di antara seniman yang tetap berkarya dan tanpa pembaharuan; hal ini bisa saja disebut seniman tersebut telah mencapai atau mendapatkan jati diri, karyanya telah memiliki ciri khas dan “kepribadian”. Namun, jika kita kembali pada  hakikat berkesenian, seniman seharusnya terus menerus berinovasi dan berkreasi. Maka kemapanan bisa saja berarti sudah selesai dan mati. Apa yang disampaikan, walaupun baru dibuat rasanya seperti tembang kenangan.

Dan sebaliknya jika seniman memperbaharui atau mengubah karyanya menjadi karya yang baru, bisa saja sebagian kolektornya tersentak dan tak lagi mengkoleksinya, karena tak mampu mencerna apa yang baru.

Hal seperti ini adalah dilema dan sekaligus tantangan setiap seniman, karena semua langkahnya tentu disertai risiko kerugian dan keuntungan masing masing.

Giri Basuki, menurut saya, adalah seniman yang cukup berani mengambil risiko untuk terus berinovasi dan meninggalkan kemapanan. Ini sebuah sikap yang secara pribadi saya kagumi.

Semoga pameran Giri Basuki saat ini, sungguh menjadi kelahiran Baru bagi karyanya dan kehidupannya. Karena pada kodratnya Tuhan selalu menjaga kehidupan manusia terutama yang berani berubah, karena di sinilah iman itu sesungguhnya diuji.

*Pendiri dan Pengelola Galeri Seni Rupa Millenium Jakarta

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

4  +  5  =