Channel9.id-Jakarta. Komisioner KPAI Bidang Pendidikan Retno Listyarti mempertanyakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Mendikbud) yang mengkomersialisasi konsep merdeka belajar. Menurut Retno, merdeka belajar merupakan sebuah merek dagang yang dimiliki sebuah perusahaan yang salah satu petinggi perusahaan tersebut saat ini menjadi pembisik utama Mendikbud Nadiem Makarim.
“Merdeka belajar sudah dimerk-dagangkan pada 22 Mei 2020 oleh sebuah PT Sekolah Cikal. Kok bisa?,” pungkasnya Rabu (29/07).
Retno menambahkan, bahkan keluarga pahlawan Nasional yang meletakkan dasar pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara, tidak pernah mengomersialkan konsep pendidikan yang saat ini menjadi dasar dari konsep merdeka belajar.
“Padahal, ada loh anak cucunya yang punya sekolah juga,” ujarnya.
Ia menyarankan Menteri Nadiem menghentikan program-program yang mengarah pada kapitalisasi pendidikan. Karena pendidikan merupakan hal dasar yang harus dipenuhi oleh negara pada semua rakyatnya seperti diamanatkan undang-undang, karena hal tersebut sulit dipenuhi bila pendidikan menjadi mahal.
Selain itu, Retno juga menyinggung Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendikbud dengan anggaran Rp595 miliar yang merupakan turunan Merdeka Belajar. Dia menyayangkan Tanoto dan Sampoerna dapat dana dari Mendikbud.
“Pak Dirjen GTK yang baru (Iwan Syahri) adalah orang yang pernah bekerja di dua tempat itu,” ucapnya.
“Saya melihat Pak Nadiem habis dipanggil Presiden, Pak Nadiem nyatakan tidak tahu masa lalu. Saya tahu masa depan dan langsung naik Go-Jek. Saya awalnya tidak paham. Sekarang saya paham Pak Nadiem tidak tahu sejarah. Saya rasa beliau harus belajar sejarah,” sambung Retno.
Ia mengakui digitalisasi dalam semua sektor termasuk pendidikan tak bisa dihindari. Diharapkan, hal tersebut terjawab oleh kaum milenial di mana Nadiem dianggap sebagai wakil dari generasi milenial ini.
“Ternyata Pak Nadiem tidak bisa menjawab,” katanya.
Selanjutnya KPAI meminta Menteri Nadiem fokus mengevaluasi pendidikan jarak jauh di masa pandemi Covid-19 dengan kurikulumnya. Karena hasil evaluasi KPAI program ini cukup bermasalah dan harus segera diselesaikan.
“Hasil evaluasi terjadi disparitas anak kaya dan miskin. Anak kaya terlayani dengan baik, anak miskin tidak. Terjadi bias anak kota dan desa. Anak kota biasa berselancar internet, anak desa tidak termasuk gurunya. Disparitas Jawa luar Jawa, luar Jawa tidak terlayani seperti Papua,” pungkas Retno.
IG