Channel9.id, Jakarta – Anggota Komisi VI DPR RI, Rieke Diah Pitaloka, melontarkan kritik tajam terhadap kebijakan impor gula yang dinilai tidak berdasarkan data akurat dan justru melemahkan ekosistem gula nasional. Dalam Seminar “Menyikapi Dampak Dinamika Pasar Gula dan Tetes Tebu terhadap Kesejahteraan Petani dan Swasembada Gula yang Berkelanjutan” di Jakarta, Rabu (27/8/2025), ia menegaskan bahwa persoalan gula bukan sekadar ketersediaan di pasar, melainkan menyangkut kedaulatan pangan dan keberlangsungan hidup jutaan petani tebu di Indonesia.
“Saya sudah empat periode di DPR, tiga di antaranya mengawal isu gula di Komisi VI. Yang saya perjuangkan bukan hanya swasembada, tapi kedaulatan gula nasional. Kalau swasembada hanya soal produk ada di pasar, kedaulatan bicara soal jaminan dari hulu, tengah, hingga hilir. Kalau datanya tidak akurat, lalu kebijakan impor diputuskan begitu saja, itu merugikan bangsa sendiri,” tegas Rieke.
Rieke menyoroti data produksi dan impor yang menurutnya tidak masuk akal. Pada 2020, produksi gula nasional sebesar 2,12 juta ton, namun impor mencapai 5,4 juta ton. Tahun 2024, produksi naik menjadi 2,4 juta ton, tapi impor tetap 5,4 juta ton. Sementara pada 2025, produksi diproyeksikan mencapai 2,6 juta ton, ditambah stok 1,4 juta ton di awal tahun serta tambahan 200–300 ribu ton pasca musim giling. Dengan kebutuhan nasional hanya sekitar 2,8 juta ton, impor 200 ribu ton dinilai tidak memiliki dasar kuat.
“Kalau otak saya nggak nyampe, masa dengan data seperti itu kita masih impor? Ini jelas harus dicurigai,” ujarnya.
Selain gula konsumsi, Rieke juga mengkritisi distribusi gula rafinasi yang seharusnya hanya untuk industri, namun faktanya merembes ke pasar konsumsi. Ia meminta Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP) mengaudit kebutuhan riil industri makanan dan minuman, sekaligus mengevaluasi 11 perusahaan yang terindikasi menguasai pasar impor gula rafinasi.
“Kenapa harus 11 perusahaan itu? Apa pertanggungjawabannya ketika gula rafinasi rembes ke konsumsi? Jangan-jangan ini bukan soal kebutuhan industri, tapi soal kartel,” sindirnya.
Molase: Bom Waktu di Industri Tebu
Rieke juga menyinggung anjloknya harga tetes tebu (molase) dari Rp2.200/kg pada 2024 menjadi hanya Rp1.000/kg pada 2025. Penurunan ini, katanya, membuat petani merugi hingga Rp4.500 per kwintal. Kondisi makin parah karena molase tidak terserap industri akibat kebijakan Permendag No.16/2025 yang membuka kran impor dengan tarif nol persen.
“Molase itu bukan cabe atau gula yang bisa disimpan di gudang. Kalau meluber, pabrik bisa lumpuh. Ini darurat. Maka saya minta Permendag 16/2025 direvisi, bahkan ditunda sebelum berlaku pada 29 Agustus ini. Kalau tidak, Jumat itu bukan jadi berkah, tapi musibah,” tegasnya.
Menurut Rieke, persoalan gula harus dipandang sebagai mandat konstitusi, bukan sekadar urusan bisnis. Ia menegaskan, kebijakan impor dan distribusi gula wajib diarahkan untuk melindungi petani dan menjamin kesejahteraan rakyat, bukan justru membuka ruang spekulasi pasar.
“Ini bukan soal bisnis as usual. Ini soal perlindungan konstitusi. Nasib jutaan orang di ekosistem gula dan tebu dipertaruhkan. Saya mohon doa dan dukungan, karena saya tidak pernah minta apa-apa, hanya berjuang agar petani kita tidak dikorbankan,” pungkasnya.