Politik

Saiful Mujani: Banyak Legislator Nasionalis Akomodasi Kebijakan Syari’ah

Channel9.id – Jakarta. Saiful Mujani menyatakan, bahaya populisme Islam di Indonesia, tidak hanya datang dari kelompok agama saja. Tetapi, bahaya tersebut juga datang dari kelompok nasionalis.

Banyak legislator dari partai nasionalis di sejumlah daerah, mengakomodasikan kepentingan kelompok Islam (Sekterian) untuk membuat kebijakan publik yang berlandaskan syariat Islam. Kebijakan publik tersebut, tentu mendiskriminasi kelompok non-Islam.

“Studi yang dilakukan oleh Buehler (2013) yang memaparkan bahwa sejumlah kebijakan publik yang eksklusif, hanya mengakomodasi kepentingan satu kelompok Islam (sektarian), mendiskriminasi non-Islam, telah dibuat di banyak daerah. Dalam kurun waktu 1999-2009, setidaknya ada 169 kebijakan publik di berbagai daerah, provinsi dan kabupaten/kota, yang masuk dalam kategori kebijakan publik bersyariah,” kata Saiful, Selasa (18/8).

Saiful menjelaskan, di banyak negara yang penduduknya mayoritas Muslim, upaya membuat kebijakan publik terkait dengan syariat Islam biasanya datang dari wakil rakyat dari partai berideologi Islam.

Namun, kasus Indonesia berbeda karena partai-partai agama (Islam) justru terlalu kecil dibanding partai-partai nasionalis.

“Yang terjadi di sejumlah daerah di Indonesia, menurut sebuah studi, kebijakan publik bermuatan syari’ah justru dilakukan oleh legislator daerah dari banyak partai nasionalis, bukan hanya partai berideologi Islam seperti PKS. (Buehler 2013),” lanjutnya.

Saiful menambahkan, legislator dari partai-partai nasionalis tersebut, tidak peduli dengan platform partai mereka yang menjunjung tinggi kebinekaan ketika dihadapkan dengan gerakan, jaringan, dan lobi kelompok Islam yang punya agenda menerapkan syariat Islam dalam kebijakan publik di daerah.

“Banyak politisi nasionalis di daerah meleleh ketika dijanjikan oleh kelompok Islam itu bahwa mereka bakal mendapatkan banyak dukungan pemilih dalam pemilu. Demikian juga kepala daerah,” ujarnya.

Saiful menyatakan, gejala tunduknya legislator pada agenda kebijakan syari’ah tersebut, karena alasan dukungan elektoral.

Mereka meyakini bahwa agenda-agenda dan kebijakan-kebijakan berbasis sentimen Islam yang diskriminatif terhadap non-Islam mendapat dukungan besar dari orang Islam.

“Di tangan politisi demikian, Indonesia bisa menjadi negara syariah tanpa harus ada partai Islam yang kuat, tanpa harus dipimpin presiden yang berideologi Islam, tanpa harus mengubah UUD kita yang inklusif bagi kebinekaan itu, dan tanpa gerakan bersenjata seperti dilakukan DI/TII,” ujarnya.

“Bila populisme Islam dan Islamisasi Indonesia itu menguat maka kebinekaan yang menjadi fondasi negara-bangsa kita menjadi terancam,” pungkas Saiful.

(HY)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

29  +    =  30