Opini

Saya, Pak Teten dan Somasi (2)

Oleh: Farid Gaban

Channel9.id – Jakarta. Miftahul Choiri, pejabat Bank Indonesia, belum lama lalu menyebut bahwa mayoritas barang yang dijual di toko online adalah barang impor. Dengan kata lain, toko online menguntungkan produsen asing ketimbang lokal; serta memperparah defisit perdagangan nasional kita.

Bhima Yudhistira, pengamat ekonom Indef (Institute for Development of Economics and Finance), memperkuat pernyataan Choiri. “Sekitar 93 persen barang yang dijual di marketplace adalah barang impor. Produk lokal hanya 7 persen,” kata Yudhistira.

Toko-toko online berkontribusi meningkatkan impor barang konsumsi, yang pada 2018, misalnya, naik 22 persen.

Kita tahu, toko-toko online Indonesia belakangan ini disuntik dana investasi asing besar-besaran untuk menjadi unicorn/decacorn. Investor asing bisa masuk ke perdagangan ritel online berkat kebijakan liberal Pemerintahan Jokowi.

Pada 2016 dan 2018, pemerintah membuka kepemilikan 100% investasi asing di 95 bidang usaha, salah satunya di bidang ritel online.

Baik Choiri maupun Yudhistira menyebut bahwa banjir investasi asing pada unicorn/decacorn toko online bertanggungjawab atas defisit perdagangan, yang pada gilirannya memicu defisit neraca berjalan (CAD), dan secara laten memperlemah nilai rupiah.

Jadi, toko-toko online swasta unicorn itu hampir tidak ada manfaatnya dalam pengembangan UKM lokal. Sebaliknya, dalam praktek justru membahayakan kondisi ekonomi negeri kita, serta menciptakan ketergantunan negeri kita atas barang impor.

Kondisi itu relevan dengan apa yang dikeluhkan oleh Presiden Jokowi sendiri beberapa waktu lalu: “kenapa bahkan cangkul pun harus kita impor dari luar negeri.”

Menurut saya, sangat ironis, jika Menteri Teten (tanpa menimbang hal-hal di atas) justru menjalin kerjasama dengan toko online seperti Blibli. Kerjasama itu juga akan lebih menguntungkan Blibli ketimbang UKM yang ingin dibela oleh Pak Menteri Teten.

Dalam beberapa tahun terakhir, raksasa rokok Djarum, Sampoerna dan Gudang Garam bersaing satu sama lain untuk menguasai jaringan ritel hingga pedesaan.

Mereka punya program yang mirip satu sama lain untuk “memodernisasi” kios kelontong pedesaan: Djarum Retail Partnership (DRP yang belakangan disatukan dengan Blibli); Sampoerna Retail Community (SRC); dan Gudang Garam Strategic Partnership (GGSP).

Kios-kios kelontong pedesaan itu tak hanya menjual rokok, tapi juga produk konsumsi lain. Ini penetrasi yang lebih agresif dari jaringan Indomart dan Alfamart yang sudah berlangsung beberapa tahun terakhir.

Kehadiran minimarket (swalayan modern) tak hanya meminggirkan pedagang/pasar tradisional, tapi juga memperbesar ketergantungan desa terhadap produk-produk dari kota. Ini memperlemah sentra-sentra produksi dan ekonomi lokal, yang pada gilirannya memicu ketimpangan dan kemiskinan.

Pengakuan tentang dampak buruk minimarket bahkan datang dari pemerintah sendiri. Pada 2018 lalu, pemerintah berjanji akan mengeluarkan “peraturan presiden tentang pengendalian minimarket”. Tapi, alih-alih membatasi, pemerintah justru membiarkan ekspansi jaringan ritel hingga jauh ke pelosok desa oleh raksasa rokok tadi.

Lagi-lagi, makin ironis, jika Menteri Teten Masduki (tanpa menimbang dampak buruk tadi) justru memberi panggung lebih luas bagi Blibli (Djarum) untuk berkiprah.

Pasar (marketplace) hanya satu aspek saja dari ekonomi lebih luas. Tugas Kementerian Koperasi-UKM tak hanya memperluas pasar; tidak hanya mengurus pedagang.

Pelaku UKM itu tak cuma pedagang tapi juga produsen barang-barang dan jasa, bahkan termasuk petani (pelaku usaha tani) di dalamnya. Tak ada gunanya marketplace yang menyingkirkan produsen atau petani lokal. Tak ada gunanya pula marketplace yang memperlemah ekonomi lokal, yang pada gilirannya memperlemah ekonomi nasional kita.

Lebih dari segalanya, ada kata “koperasi” dalam nama Kementerian Pak Teten Masduki itu, yang bukan cuma embel-embel atau hiasan belaka. Koperasi menawarkan sistem produksi-konsumsi serta perniagaan yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan karena bertumpu pada kekuatan lokal.

Dari Bung Hatta kita juga belajar bahwa koperasi bukanlah cuma badan usaha (atau tentang pasar belaka). Koperasi juga tentang sistem sosial dan politik demokrasi dari bawah; fondasi penting tak hanya bagi ekonomi nasional, tapi juga bagi demokrasi politik dan cita-cita keadilan sosial Indonesia sesuai Pancasila.

Begitulah, ada banyak kritik lain yang bisa ditambahkan tentang Kementerian ini. Tapi, pada prinsipnya, kita warga negara berhak untuk selalu mempertanyakan kebijakan publik pemerintah. Jangankan menteri, kebijakan presiden pun bisa dipertanyakan.

Akan halnya somasi Muannas Alaidid, saya berharap dia mengurungkan niat mempolisikan saya. Bagaimanapun, itu terserah dia. Jika berlanjut, saya siap menyambut Pak Polisi yang datang mengetuk rumah saya.***

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  61  =  70