Opini

Sejarah Perkembangan Migas di Eropa dan Asia (Part 3)

Oleh: Arcandra Tahar*

Channel9.id-Jakarta. Setelah membahas bagaimana lahirnya industri migas di Amerika Serikat (AS), sekarang kita akan melihat respon dari negara-negara Eropa. Tahun 1862 kerosene dari Standard Oil sudah sampai di kota St. Petersburg Rusia. Kerosene menjadi barang yang sangat berharga untuk bahan bakar lampu teplok sebagai penerang karena periode malam hari di wilayah itu lebih panjang daripada siang.

Meningkatnya kebutuhan kerosene membuat keluarga Nobel yang pindah dari Swedia ke St. Petersburg menjadi pelopor industri migas di Eropa. Mungkin banyak yang bertanya apakah keluarga Nobel ini ada hubungan dengan pemberian penghargaan Nobel setiap tahun untuk ilmuwan yang berkontribusi terhadap kemajuan peradaban manusia? Benar, keluarga Nobel memulai bisnis dan pengembangan teknologi dari sektor migas. Kalau di AS ada John D. Rockefeller sementara di Eropa ada keluarga Nobel.

Baku, Azerbaijan adalah kota pertama yang memproduksi minyak di Eropa. Robert Nobel putra tertua dari Immanuel Nobel pindah ke Baku untuk memulai bisnis refinery yang menghasilkan kerosene. Hingga tahun 1880, sudah ada sekitar 200 refinery yang beroperasi di Baku.

Dengan semakin berlimpahnya kerosene, penjualan ke Eropa Barat perlu diintensifkan, maka dibangunlah rel kereta dari Baku ke Eropa Barat. Tapi dalam pembangunannya proyek ini mengalami masalah keuangan. Disinilah mulai terlibat keluarga Rothschild di industri migas sebagai penyandang dana. Keluarga Rothschild mendirikan perusahaan minyak dengan nama Bnito. Keluarga ini juga yang mensponsori settlement Yahudi di Palestina.

Sampai tahun 1888 ada tiga pemasok kerosene di Eropa, Standard Oil, Bnito dan keluarga Nobel. Sementara untuk pasokan kerosene ke Asia terutama Hongkong, China, Jepang dan Singapore, pasokan dilakukan oleh perusahaan dagang dari London yang menjual Seashell (kerang laut) dengan nama Shell Transport and Trading atau disingkat Shell.

Lanjutan Bagian 1

Belanda yang menjajah Indonesia juga tidak tinggal diam. Daripada mengirim kerosene dari Amerika Serikat atau Baku, maka Belanda memutuskan untuk mencari sumber minyak di Indonesia. Tahun 1890 berdirilah Royal Dutch dan mendapat konsesi dari Sultan Langkat untuk melakukan drilling dan memproduksi crude yang diolah menjadi kerosene. Royal Dutch akhirnya menemukan minyak di Langkat Sumatera Utara. Inilah awal mula industri perminyakan di Indonesia.

Melihat kesuksesan Royal Dutch, Shell juga ingin mengikuti jejaknya. Maka tahun 1895 Shell mendapat konsesi di daerah Kutai Kalimantan Timur. Ini adalah awal dari Shell masuk di bidang hulu migas yang sebelumnya hanya sebagai trading company.

Pada tahun 1907 Royal Dutch membeli Shell dan menjadi The Shell Transport Royal Dutch Petroleum Company atau British Dutch. Dalam era sekarang menjadi Royal Dutch Shell (disingkat Shell). Pada saat itu British Dutch sudah menguasai setengah perdagangan kerosene di Rusia dan Asia. Jadi, menilik sejarah tumbuhnya Shell seperti sekarang tidak terlepas dari pengembangan migas di Indonesia. Menarik bukan?

Lanjutan Bagian 2

Dengan persaingan dua raksasa perusahaan minyak waktu itu Standard Oil dan Shell maka konsumen mendapat pilihan yang lebih baik untuk memenuhi kebutuhan kerosene mereka. Monopoli yang sebelumnya dikuasai oleh Standard Oil sekarang sudah bisa diimbangi oleh Shell terutama untuk pasar Asia.

Bagaimana dengan monopoli Standard Oil di Amerika Serikat? Dunia usaha dan masyarakat di AS merasa ada yang tidak sehat dengan monopoli ini.Tahun 1906 pemerintahan President Roosevelt mengajukan gugatan ke Pengadilan Federal Circuit Court di St Lois atas pelanggaran undang-undang antitrust yang dilakukan oleh Standard Oil. Dengan proses sidang yang berlangsung cukup lama dan menegangkan, tahun 1909 Pengadilan Federal memutuskan agar Standard Oil dipecah menjadi beberapa perusahaan.

Dengan sangat terpaksa, Standard Oil New Jersey berubah menjadi Exxon, Standard Oil New York menjadi Mobil, Standard Oil California menjadi Chevron, Standard Oil Ohio menjadi Sohio yang kemudian menjadi BP America, Standard Oil Indiana menjadi Amoco, Continental Oil menjadi Conoco dan Atlantic menjadi ARCO. Inilah nama-nama Perusahaan minyak yang familiar di dunia energi. Bagaimana dengan Texaco dan Phillips? Silahkan pembaca untuk mempelajarinya.

Di zaman sekarang Amoco dan ARCO merger dengan BP, Exxon dan Mobil menjadi ExxonMobil sementara Texaco merger dengan Chevron menjadi Chevron. Selain itu, Conoco bergabung dengan Phillips menjadi Conocophillips. Inilah formasi terbaru sampai hari ini.

Kembali ke pertanyaan awal, apakah migas sudah memasuki usia diambang senja? Apalagi dengan adanya penantang baru berupa Renewable Energi (RE) dan Kendaraan Listrik (EV). Apakah akan bernasib sama seperti kendaraan motor bakar dan bola lampu yang akhirnya hidup berdampingan dengan migas? Tunggu tulisan kami selanjutnya, Insyaa Allah.

*Wakil Menteri ESDM Kabinet Kerja

Baca juga: Perspektif Migas Dianggap Industri Diambang Senja; Persaingan Gasoline, Batubara, dan Battery Store (Part 2)

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  50  =  55