Hukum

Sel Tikus Warisan Penjajahan Belanda Masih Digunakan, Begini Respons KemenHAM

Channel9.id – Jakarta. Direktur Jenderal Instrumen dan Penguatan Kementerian Hak Asasi Manusia (Dirjen IP KemenHAM), Nicholay Aprilindo, menyoroti masih adanya penggunaan sel gelap atau sel tikus di sejumlah Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) dan Rumah Tahanan Negara (Rutan) di Indonesia. Ia menegaskan bahwa praktik ini seharusnya sudah tidak digunakan karena berpotensi melanggar HAM.

Sel tikus merupakan ruangan sempit, gelap, dan tanpa fasilitas memadai yang digunakan untuk menghukum warga binaan yang melanggar aturan. Sel ini umumnya ditemukan di lapas dan rutan yang dibangun pada masa penjajahan Belanda.

“Saya heran, kok masih ada sel tikus aktif di era 79 tahun kemerdekaan. Padahal tugas dan fungsi dari Lembaga Pemasyarakatan serta Rutan untuk para narapidana maupun tahanan itu adalah pembinaan, bukan ‘penghukuman balas dendam’. Itu kan tinggalan kolonial,” kata Nicholay, Selasa (11/2/2025), dikutip JPN Indonesia.

“Ini zaman milenial, era HAM, lho. Kemanusiaan harus dijunjung tinggi karena memang itu hak dasar manusia, apa pun dia, siapa pun dia,” sambungnya.

Menurutnya, aturan yang berlaku saat ini masih memperbolehkan penggunaan sel gelap dalam kondisi tertentu. Namun, penggunaannya harus dibatasi dan sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan.

“Aturannya, hanya boleh digunakan untuk warga binaan yang melakukan pelanggaran keras aturan, seperti berkelahi, menggunakan narkoba, atau membuat onar. Paling lama warga binaan atau narapidana ditaruh di sel tikus 6 hari, bisa diperpanjang 6 hari. Setelah itu harus dikeluarkan dan ditempatkan kembali ke sel biasa. Tidak bisa berlama-lama di sel tikus atau sel gelap, apalagi sampai 1,5 bulan lamanya,” jelasnya.

Meski demikian, ia mengingatkan bahwa sejak 2017 Kementerian Hukum dan HAM sudah tidak merekomendasikan penggunaan sel gelap. Ia menegaskan bahwa penggunaan sel tikus bertentangan dengan prinsip pemasyarakatan yang menekankan pembinaan, bukan hukuman fisik.

Ia juga mengingatkan bahwa peraturan yang berlaku, termasuk UU Nomor 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan dan UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, sudah jelas melarang tindakan penyiksaan fisik maupun psikis yang dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM serius.

“Hingga saat ini masih ada sel gelap (sel tikus) untuk mendisiplinkan warga binaan. Apa pun alasannya, menempatkan warga binaan di ruangan sempit, gelap, dan minim fasilitas adalah perbuatan tidak memanusiakan manusia,” tegasnya.

Menurut Nicholay, saat ini sebagian besar lapas dan rutan sudah tidak lagi menggunakan sel tikus sesuai fungsinya di masa lalu. Banyak ruangan tersebut kini dialihfungsikan sebagai tempat penyimpanan barang.

“Lebih baik dan lebih bermanfaat, tapi masih ada saja rutan yang menggunakan sel tikus atau sel gelap,” tuturnya.

Ia menegaskan bahwa hukuman bagi warga binaan yang melanggar aturan seharusnya tetap mengedepankan aspek pembinaan agar mereka dapat kembali berkontribusi di masyarakat.

“Itu menjadi salah satu hal yang akan kita rumuskan guna perbaikan dan penguatan serta pemenuhan HAM di Kementerian HAM,” kata Nicholay.

Nicholay mengaku telah melakukan inspeksi ke berbagai lapas dan rutan di Indonesia. Ia menemukan bahwa masih ada tempat yang menggunakan sel tikus dalam kondisi yang tidak layak.

“Yang menjadi catatan serius saya dan tidak akan saya lupakan, Rutan Kelas I Cirebon. Khususnya, ada seorang narapidana yang dikatakan mengidap penyakit akut TBC dan dimasukkan ke dalam sel tikus, sel isolasi yang gelap. Itu merupakan pelanggaran HAM serius,” ungkapnya.

Ia menegaskan bahwa KemenHAM akan terus memantau kondisi di lapas dan rutan serta mendorong penghentian penggunaan sel tikus dalam sistem pemasyarakatan.

“Itu menjadi salah satu hal yang akan kita rumuskan guna perbaikan dan penguatan serta pemenuhan HAM di Kementerian HAM,” tandasnya.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

  +  4  =  5