Channel9.id. – Jakarta. Korban dari petugas kepolisian yang sedang bertugas terus berjatuhan. Terakhir adalah terbakarnya hidup-hidup anggota Polres Cianjur, Jawa Barat, saat mengamankan aksi demonstrasi mahasiswa.
Tugas-tugas kepolisian di dalam pengamanan dan ketertiban umum di era demokrasi semakin kompleks. Tugas kepolisian ini semakin berat, karena di satu sisi harus menjaga keamanan dan ketertiban umum, serta terselenggaranya kebebasan berpendapat. Di sini lain, petugas di lapangan juga harus berperilaku humanis selama kegiatan masyarakat masih dalam koridor hukum.
Dalam situasi ini sering membawa petugas kepolisian pada kondisi yang membahayakan dirinya sendiri. Untuk menghindari kontak fisik, bisa saja polisi membubarkan suatu kegiatan seperti unjuk rasa. Namun selama penyampaian pendapat itu masih di dalam koridor kebebasan berpendapat dan berekspresi yang dihormati undang-undang. Maka polisi tidak tidak bisa gegabah mencari jalan mudah membubarkan kegiatan tersebut.
Akibatnya, seperti yang baru viral di Cianjur, anggota Polri terbakar hidup-hidup ketika hendak memadamkan api yang sengaja dipakai pengunjuk rasa, justeru ada pengunjuk rasa yang melempar bensin ke arah polisi. Akibatnya, tiga petugas terluka, bahkan satu diantaranya harus berguling-guling di jalan beraspal untuk memadam api yang membakar seragamnya.
Beruntung, kejadian di Cianjur tidak menimbulkan korban jiwa, walaupun petugas Aiptu Erwin mengalami luka bakar serius bersama Bripda Yudi Muslim dan Bripda FA Simbolon harus mendapat perawatan intensif di Rumah Sakit Polri RS Soekamto, Kramat Jati, Jakarta Timur.
Dalam kasus yang lebih tragis harus diterima oleh Bribka Heidar, Anggota Satuan Tugas Penegakkan Hukum yang tewas setelah disergap dan ditembak Anggota Kelompok Kriminal Bersenjata di Kampung Usir Kabupaten Puncak, Papua.
Dari kronologi kejadian, Bripka Haidar dan Brigadir Alfonso yang sedang melakukan tugas penyamaran untuk suatu penyelidikan. Di tengah jalan dipanggil seseorang yang mengenalnya. Ketika motor yang mereka kendarai berhenti.
Kepala Biro Penerangan Masyarakat Divisi Humas Polri Brigjen (Pol) Dedi Prasetyo menyebutkan “(Heidar) mendapatkan informasi dari masyarakat bahwa KKB sering mengintimidasi masyarakat di distrik tersebut. Selain mengintimidasi, juga ada beberapa tindak pidana yang dilakukan, baik penganiayaan, pengancaman, pemerkosaan maupun tindak kejahatan lainnya,” ujar Dedi di Gedung Humas Mabes Polri, Jakarta Selatan, Selasa lalu (13/8/2019).
Bintara yang naas itu kemudian disergap beberapa orang yang muncul tiba-tiba. Enam jam kemudian Bripka Heidar ditemukan tewas dengan luka tembak di beberapa tubuhnya, tak jauh dari tempat ia disergap.
Gugurnya Bripka Heidar menambah daftar jumlah anggota polri yang menjadi korban dalam tugas. Dalam peristiwa demonstrasi besar, pasca Pilpres 21-22 Mei, tercatat beberapa anggota kepolisian terluka.
Wakapolsek Jatinegara, Jakarta Timur, AKP Sumarno terpaksa kehilangan beberapa giginya karena rahangnya dihantam batu oleh para pengeroyoknya di malam kerusuhan 22 Mei 2019 lalu. Beruntung AKP Sumarno masih bisa pulih kembali.
Kejadian pengeroyokan terhadap perwira Polri juga dialami oleh Kepala Satuan Reserse Kriminal Polres Wonogiri AKP Aditya Mulya Ramdhani. AKP Aditya bahkan sampai kini masih koma di rumah sakit di Singapura, setelah dikeroyok oleh anggota perguruan pencak silat di Wonogiri, pada Mei 2019 lalu.

AKP Aditya mengalami pecah batok kepalanya yang mengakibatkan pendarahan otak. Luka serius ini yang menyebabkan perwira pertama ini koma, dan harus mengganti sebagian tengkorak kepalanya dengan bahan sintetis. Serangkaian korban yang mendera petugas polri ini sebagai konsekuensi tugas yang mengutamakan aspek persuasi oleh kepolisian yang mengedepankan pendekatan humanis polisi di era modern sekarang ini.
Dalam menghalau demonstrasi besar di depan kantor Bawaslu Jakarta, 21-22 Mei lalu misalnya, nampak pasukan polisi terdepan bertamengkan besar dan berat yang lebih untuk strategi bertahan dari serbuan demonstran ketimbang menyerang balik para pengunjuk rasa.
Perubahan pemolisian dengan pendekatan humanis ini, memang bukan tanpa resiko. Resiko terbesar dan berat justeru ada di aparat kepolisian, hal ini yang sering diabaikan oleh aktivis dan mereka yang mengaku pejuang kemanusian.
Inilah sebuah ironi, Korban aparat kepolisian yang berjatuhan, di saat mereka bertugas, untuk mencegah tindakan kejahatan dan aksi kerusuhan yang bisa meluas yang dapat menimbulkan korban lebih banyak di kalangan masyarakat sipil yang tidak bersalah.