industri kakao
Ekbis

Sembilan Pabrik Kakao Tutup, Kemenperin Fokus Perkuat Rantai Pasok Lokal

Channel9.id, Jakarta – Lonjakan harga biji kakao dunia yang semula menjadi tekanan bagi industri pengolahan dalam negeri kini justru dipandang sebagai momentum untuk membangkitkan kembali rantai pasok kakao nasional berbasis petani lokal.

Kementerian Perindustrian (Kemenperin) mencatat, hingga tahun ini tersisa 11 industri pengolahan kakao yang aktif beroperasi dari total 20 perusahaan yang sempat berproduksi beberapa tahun lalu. Sebanyak sembilan industri lainnya terpaksa menghentikan kegiatan akibat menipisnya pasokan bahan baku di tengah melambungnya harga biji kakao global.

Namun, di balik tekanan itu, pemerintah melihat peluang besar bagi petani domestik untuk mengambil peran yang lebih kuat dalam memenuhi kebutuhan industri.

“Memang kondisi harga biji kakao dunia sedang anomali sejak tahun lalu. Tapi ini bisa menjadi peluang bagi petani kakao kita untuk meningkatkan produksi dan memperkuat rantai pasok nasional,” ujar Riris Marito, Staf Direktorat Jenderal Industri Agro Kemenperin, Kamis (23/10/2025).

Riris menjelaskan, sebelum harga global melonjak, industri pengolahan kakao nasional mampu memenuhi sekitar 55% kebutuhan bahan baku dari impor. Namun, lonjakan harga yang signifikan membuat impor menurun tajam dan memaksa industri mengandalkan pasokan dalam negeri.

“Dengan harga yang tinggi di pasar dunia, impor menjadi tidak efisien. Karena itu kami mendorong peningkatan produksi dalam negeri agar bahan baku lebih terjamin,” ujarnya.

Kemenperin menilai, peningkatan kapasitas petani dan peremajaan kebun menjadi langkah strategis agar industri pengolahan kakao tidak terus tergantung pada impor.

Meski menghadapi penurunan jumlah industri besar, Indonesia tetap menempati posisi keempat dunia sebagai pemasok produk olahan kakao dan ketujuh dunia untuk biji kakao mentah.

“Ini menunjukkan bahwa daya saing kita sebenarnya masih kuat. Tinggal bagaimana kita menjaga kontinuitas dan kualitas biji kakao agar sesuai standar industri,” kata Riris.

Ia menambahkan, kualitas fisik, kadar air, dan kandungan lemak menjadi faktor penting yang menentukan nilai jual dan daya saing kakao Indonesia. “Kakao Indonesia punya kadar lemak tinggi — bahan utama untuk cokelat premium, kosmetik, dan farmasi. Kalau kualitas biji dijaga, potensinya luar biasa besar,” imbuhnya.

Meski beberapa industri besar berhenti beroperasi, geliat industri kecil dan produsen cokelat artisan di dalam negeri justru meningkat. Tren bean-to-bar yang mengedepankan kualitas dan cita rasa lokal menjadi penopang baru ekosistem kakao Indonesia.

“Masih banyak pelaku kecil yang bertahan dan bahkan tumbuh dengan model bisnis berbasis nilai tambah. Mereka memanfaatkan keunikan kakao lokal dan tren produk cokelat premium,” tutur Riris.

Ke depan, Kemenperin akan memperkuat penerapan Standar Nasional Indonesia (SNI) untuk biji kakao agar produk lokal bisa memenuhi kebutuhan industri sekaligus menembus pasar ekspor.

“Industri biasanya punya standar kualitas yang bahkan lebih ketat dari SNI karena mereka membidik pasar ekspor. Jadi pembinaan petani dalam menjaga mutu dan kadar air biji kakao menjadi prioritas,” ujar Riris.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

1  +  2  =