Nasional

Seminar UNJ: Masyarakat Sulit Bedakan Hoaks, Perpusnas RI Beberkan Upaya Penguatan Budaya Literasi

Channel9.id – Jakarta. Kepala Biro Perencanaan dan Keuangan Perpustakaan Nasional (Perpusnas RI) Joko Santoso menjabarkan berbagai upaya yang dilakukan Perpusnas RI dalam memperkuat budaya literasi masyarakat. Sebab, Joko menyebut mayoritas masyarakat Indonesia saat ini masih belum bisa memilah hoaks ataupun fakta dalam sebuah informasi.

Hal itu disampaikan Joko saat menjadi pembicara di Seminar Nasional dalam rangka memperingati Hari Guru Nasional 2023 bertajuk ‘Peran Tenaga Pendidikan dalam Optimalisasi Ekosistem Literasi Digital’. Acara ini diselenggarakan oleh UNJ dan Perpustakaan Nasional (Perpusnas) RI di Gedung Ki Hajar Dewantara, UNJ, Jakarta Timur, Rabu (6/12/2023).

Mulanya, Joko memaparkan hasil riset yang menunjukkan bahwa persoalan masyarakat yang sudah menggunakan perangkat teknologi informasi tingkat tinggi, seperti smartphone dan laptop, adalah merebaknya hoaks. Namun, Joko menyebut sebanyak 68 persen masyarakat Indonesia yang sudah menggunakan perangkat teknologi informasi tingkat tinggi tidak bisa memilah informasi hoaks atau fakta.

“Penggunaan TIK tinggi, kemudian juga penggunaan sumber media sosial yang tinggi, dan dari riset nampak masyarakat kita tidak bisa memilah apakah informasi itu benar ataukah hoaks. Jumlahnya sampai 68 persen,” ujar Joko.

Joko mengungkapkan ada tiga persoalan terkait masalah literasi di Indonesia. Pertama, konektivitas. Sebagai negara yang memiliki lebih dari 18 ribu pulau, Joko mengatakan wilayah barat, tengah, dan timur Indonesia memiliki konektivitas terhadap pengetahuan yang berbeda-beda. Saat ini, lanjutnya, sebaran perpustakaan paling banyak berada di wilayah barat Indonesia.

“Sebagai gambaran, jumlah perpustakaan di Indonesia itu 164.610 perpustakaan pada tahun 2020. Sebaran perpustakaan paling banyak, 46 persen itu ada di wilayah barat. Wilayah tengah dan timur itu kurang sekali. Density-nya semakin merendah ke wilayah timur. Kalau perpustakaan sebagai representasi sumber pengetahuan atau repository pengetahuan, tentu ada ketidakadilan,” tuturnya.

“Konektivitas secara digital kita bisa kaitkan. Di wilayah barat rata-rata tidak ada problem terkait dengan telekomunikasi. Timur, ya beda. Di timur menggunakan satelit, misalnya. Sedangkan di wilayah barat dan tengah sudah ada jaringan menggunakan fiber optic,” sambung Joko.

Masalah kedua adalah soal konten, yakni terkait dengan persebaran informasi dan pengetahuan dari berbagai macam format. Joko mengatakan ada ketidakadilan terkait penyebaran konten-konten pengetahuan antara wilayah barat hingga timur Indonesia.

“Penyebaran konten-konten pengetahuan yang ada di perpustakaan dan mungkin di pusat dokumentasi dan lain-lain tentu ada ketidakadilan. Di wilayah tengah dan timur berbeda sekali,” jelas Joko.

Ketiga, masalah konteks. Joko menjelaskan bahwa masalah konteks berkaitan dengan ketidakmampuan seseorang dalam mendapatkan pengetahuan yang berguna bagi dirinya akibat hambatan fisiologis, psikologis, dan kontekstual.

“Masalah konteks ini tidak sama setiap warga negara kondisinya secara fisiologis, psikologis antara satu dengan yang lain,” terangnya.

Oleh karena itu, kata Joko, Perpusnas RI melakukan berbagai cara untuk menuntaskan masalah ini. Salah satunya adalah dengan meningkatkan infrastruktur akses ke pengetahuan untuk memastikan konektivitas warga negara dengan sumber pengetahuan.

“Perpustakaan nasional mendorong pendirian perpustakaan sampai ke desa-desa dan juga ada layanan perpustakaan keliling yang disebarkan ke daerah,” ungkapnya.

Selain pendirian perpustakaan, Joko mengatakan Perpusnas RI juga melakukan penguatan literasi digital untuk generasi milenial, salah satunya dengan mendirikan Pojok Baca Digital yang ditempatkan di ruang-ruang publik.

“Dan juga kita ada upaya untuk terus memperkuat gerakan sosial terkait dengan penguatan literasi, bekerja sama dengan forum taman baca masyarakat dan juga pustaka bergerak Indonesia menggunakan berbagai moda transportasi,” jelas Joko.

Joko mengatakan Perpusnas RI juga melakukan penguatan konten. Dalam upaya ini, lanjutnya, Perpusnas bekerja sama dengan berbagai pihak untuk mendistribusikan bahan bacaan ke komunitas masyarakat di berbagai wilayah.

Terkahir, Joko mengatakan Perpusnas melakukan transformasi perpustakaan berbasis inklusi sosial untuk mendekatkan konteks pengetahuan dengan setiap warga negara yang berbeda.

“Harapannya, akan ada keadilan pengetahuan dan peningkatan literasi yang memungkinkan masyarakat bisa lebih sejahtera,” pungkas Joko.

Baca juga: Hadapi Era Disrupsi, Rektor UNJ Tekankan Pentingnya Literasi Digital Bagi Tenaga Pendidikan

IG

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

11  +    =  14