Channel9.id, Jakarta. Polemik kepemilikan lahan 16 hektare di kawasan Tanjung Bunga, Makassar, kembali mencuat. Namun di balik saling klaim PT Gowa Makassar Tourism Development Tbk. (GMTD) dan PT Hadji Kalla, isu yang mengemuka bukan sekadar sengketa dua korporasi, melainkan persoalan mendasar mengenai bagaimana mandat negara atas aset publik diterjemahkan, diubah, dan diperdebatkan selama lebih dari tiga dekade.
Melalui juru bicaranya, Husain Abdullah, mantan Wakil Presiden Jusuf Kalla menilai persoalan Tanjung Bunga tak bisa hanya dipandang dari klaim legalitas masing-masing pihak. Menurutnya, akar masalah justru berada pada interpretasi terhadap mandat yang diberikan pemerintah pada awal 1990-an kepada pengembang.
Husain menyebut dasar hukum yang selama ini dijadikan rujukan GMTD—yakni SK Gubernur Sulsel No. 118/XI/1991—secara prinsip hanya memberi penugasan bagi pembangunan kawasan wisata, bukan real estate komersial. Ia menegaskan bahwa praktik pembebasan lahan maupun pengembangan properti yang terjadi kemudian tidak selaras dengan semangat awal penetapan kawasan tersebut.
“Pelaksanaan SK itu tidak bisa dijadikan legitimasi untuk merampas tanah rakyat. Itu bertentangan dengan kebijakan Presiden Prabowo yang menolak praktik serakahnomics,” kata Husain dalam keterangannya, Selasa (18/11/2025).
Ia menambahkan, izin prinsip tahun 1991 itu sebenarnya telah dicabut melalui SK Gubernur No. 17/VI/1998. Dengan pencabutan tersebut, menurutnya, perubahan fungsi kawasan—mulai dari wisata menjadi komersial murni—tidak lagi memiliki landasan kuat. “Kawasan yang dulu diharapkan memberi efek berganda untuk masyarakat justru hanya menguntungkan satu pihak,” ujarnya, merujuk pada dividen daerah yang disebutnya “hanya Rp50–100 juta per tahun”.
Di sisi lain, GMTD bersikukuh bahwa seluruh dasar hukum mengenai Tanjung Bunga telah diatur secara tegas dalam empat dokumen negara sejak 1991. Presiden Direktur GMTD, Ali Said, menekankan bahwa mandat tunggal GMTD ditetapkan melalui keputusan Menteri Pariwisata dan Pos Telekomunikasi, SK Gubernur Sulsel, hingga surat penegasan larangan mutasi tanah.
“Ini bukan opini. Seluruh dokumen negara menetapkan bahwa hanya GMTD yang berwenang mengelola dan membebaskan lahan di Tanjung Bunga,” ujar Ali. Ia menilai klaim PT Hadji Kalla bertentangan dengan rekam administrasi pertanahan nasional.
Sengketa yang kembali mengeras pada 2025 ini memperlihatkan bahwa persoalan Tanjung Bunga bukan sekadar konflik dua entitas bisnis, melainkan cermin panjang persoalan tata kelola lahan di era ketika proyek-proyek strategis lebih banyak disandarkan pada penugasan administratif tanpa kerangka pengawasan yang memadai.
Dengan dua kubu sama-sama menunjukkan dokumen hukum yang berbeda arah tafsirnya, perdebatan soal siapa pemilik sah 16 hektare lahan di Tanjung Bunga perlahan berubah menjadi diskusi lebih besar: bagaimana negara memastikan mandat pembangunan kawasan tidak bergeser, tidak diprivatisasi secara berlebihan, dan tetap berpihak pada kepentingan publik.





