Channel9.id – Jakarta. Penolakan masyarakat terhadap pengosongan lahan untuk pembangunan kawasan Rempang Eco City, Pulau Rempang, Batam pada Kamis (7/9/2023), berujung tindakan refresif dan penahanan sejumlah warga oleh polisi. SETARA Institute mendesak Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk turun tangan menghentikan segala tindakan represif terhadap masyarakat Rempang.
Sebab, SETARA menilai tragedi Pulau Rempang memperlihatkan watak negara dalam mendorong akselerasi investasi melalui pendekatan keamanan untuk memastikan kelancaran pembangunan Proyek Strategis Nasional (PSN).
“Presiden agar menginstruksikan Kapolri untuk memastikan penghentian gelar pasukan dan segala bentuk tindakan represif aparat dalam proses pembangunan PSN, terutama Rempang Eco City,” kata Peneliti HAM dan Sektor Keamanan SETARA Institute Ikhsan Yosarie dalam keterangan tertulis, Jumat (15/9/2023).
Selain itu, kata Ikhsan, SETARA mendesak Jokowi memerintahkan Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo untuk menjatuhkan sanksi terhadap pimpinan Polri di daerah atau di lapangan jika tindakan represif masih dilakukan.
“Sanksi perlu diberikan terhadap pimpinan Polri di daerah dan/atau di lapangan jika tindakan represif masih dilakukan aparat,” jelasnya.
Ikhsan mengatakan, SETARA Institute mengecam keras tindakan represif yang dilakukan aparat gabungan di Rempang dan pendekatan kekerasan yang dilakukan Pemerintah terhadap rakyat.
“Kepentingan rakyat nyata-nyata ditempatkan di bawah kepentingan investasi dan PSN,” tuturnya.
Sementara itu, Peneliti Bisnis dan HAM SETARA Institute Nabhan Aiqoni menilai paradigma bisnis dan HAM sama sekali diabaikan dalam konteks pembangunan Rempang Eco City, sebagaimana PSN lain sebelumnya.
Padahal, lanjutnya, pilar kesatu United Nations Guiding Principles on Business and Human Rights (UNGPs) mengatur tentang kewajiban negara untuk melindungi masyarakat terdampak (affected community) dari pelanggaran HAM oleh investasi entitas bisnis. Tetapi, menurutnya, hal ini justru dinegasikan atas nama investasi dan pembangunan.
“Pengosongan sebuah wilayah, yang artinya memindahkan masyarakat dari ruang hidup dan penghidupan, dalam paradigma Bisnis dan HAM harus sedapat mungkin dihindari,” tegasnya.
Nabhan mengatakan jika relokasi perlu dilakukan dan tak dapat dihindari, maka harus diawali dengan menempuh konsultasi bermakna (meaning consulation) yang diwujudkan dalam pemenuhan Free Prior Informed Consent (FPIC) atau persetujuan tanpa paksaan. Selanjutnya, disusunlah kerangka rencana pemukiman kembali (resettlement planing framework).
SETARA, kata Nabhan, juga meminta pemerintah dan entitas bisnis untuk berkonsultasi dengan masyarakat untuk menilai dan memahami kekhawatiran komunitas terdampak.
“Pemerintah dan entitas bisnis mesti berkonsultasi secara langsung dengan masyarakat terdampak dengan mempertimbangkan kondisi lokalitas, aspek historis, dan potensi hambatan lainnya dalam keterlibatan yang efektif, bukan justru dengan menguatkan pendekatan keamanan,” terangnya.
“Pengerahan aparat justru hanya memunculkan kesan anti kritik, pengabaian kepentingan rakyat, dan menambah daftar panjang pendekatan keamanan yang dilakukan pemerintah untuk membendung suara-suara penolakan atas kebijakan dan proses pembangunan yang minim keterlibatan masyarakat,” pungkasnya.
Baca juga: Kapolri Sebut Bentrokan di Rempang Karena Sekelompok Warga Kuasai Lahan Milik BP Batam
HT