Nasional

Setara Institute Dorong Penguatan Ekosistem Toleransi Lewat Konferensi Kota Toleran 2025

Channel9.id – Jakarta. Setara Institute menegaskan pentingnya kolaborasi daerah dalam memperkuat ekosistem toleransi melalui penyelenggaraan Konferensi Kota Toleran (KKT) 2025 di Singkawang.

Manajer Riset Setara Institute, Sayyidatul Insiyah, menyatakan bahwa konferensi ini menjadi ruang bersama untuk menguatkan inisiatif lintas daerah dalam memajukan praktik toleransi.

Insiyah menjelaskan bahwa sejak 2015 Setara Institute secara rutin mempublikasikan Indeks Kota Toleran (IKT) sebagai upaya mendorong praktik toleransi di kota-kota di Indonesia. Ia menyebut IKT telah menumbuhkan antusiasme daerah untuk membangun ekosistem toleransi secara lebih terukur dan berkelanjutan.

“Setara Institute secara rutin menyusun dan mempublikasikan studi Indeks Kota Toleran yang bertujuan mempromosikan berbagai praktik baik toleransi kota-kota di Indonesia,” kata Insiyah dalam siaran pers resmi Setara Institute, Selasa (18/11/2025).

“Indeks Kota Toleran telah berhasil mendorong antusiasme kota-kota untuk bergegas membangun ekosistem toleransi di daerahnya masing-masing.”

Insiyah menjelaskan bahwa KKT 2025 mengangkat tema Menguatkan Inisiatif dan Kolaborasi, Membangun Ekosistem Toleransi untuk menegaskan pentingnya kerja bersama antarpemangku kepentingan. Ia menekankan bahwa konferensi ini digelar bertepatan dengan Hari Toleransi Internasional pada 16 November 2025.

“KKT bukan hanya pertemuan teknokratis dan formal-seremonial, melainkan ruang perjumpaan lintas kedudukan dan kepentingan,” ujar Insiyah.

“Pemerintah daerah, akademisi, organisasi masyarakat sipil, komunitas keagamaan, praktisi kebijakan, hingga pemimpin muda berkumpul dalam satu ruang dialog yang setara,” sambungnya.

Konferensi yang diikuti perwakilan 27 kota/kabupaten dan satu provinsi itu menjadi forum berbagi pengalaman dalam penguatan toleransi. Insiyah mengatakan peserta tidak hanya hadir untuk mendengarkan, tetapi juga berbagi inovasi dalam program dan kebijakan yang mereka jalankan di daerah masing-masing.

“Pertukaran ini menjadi wujud nyata dari kehendak dan semangat aktor-aktor kunci di daerah untuk bekerja secara kolektif membangun kota/kabupaten yang toleran dan inklusif,” kata Insiyah.

“Pemerintah kota/kabupaten yang hadir menandatangani Deklarasi Komitmen Bersama untuk Percepatan Pembangunan Ekosistem Toleransi di Daerah,” lanjutnya.

Ia menjelaskan bahwa deklarasi tersebut ditandatangani oleh berbagai kepala daerah, wakil kepala daerah, serta unsur organisasi perangkat daerah dan FKUB dari berbagai wilayah. Deklarasi itu juga disaksikan perwakilan pemerintah pusat, pemerintah provinsi, dan organisasi masyarakat sipil.

“Para pihak yang hadir sekaligus menandatangani Deklarasi Komitmen Bersama tersebut,” tulis Insiyah.

“Deklarasi tersebut turut disaksikan oleh perwakilan Pemerintah Pusat dan Provinsi serta organisasi masyarakat sipil,” sambungnya.

Insiyah menuturkan bahwa sejumlah pembelajaran muncul dari sesi berbagi yang dilakukan masing-masing daerah. Ia memaparkan bahwa sejumlah kota telah mengeluarkan kebijakan hukum progresif terkait toleransi, sementara daerah lain mengembangkan program inovatif berbasis kolaborasi.

“Kota Mojokerto, Kota Salatiga, Kota Tegal, dan Kota Semarang mengeluarkan kebijakan yang spesifik mengenai toleransi. Kota Singkawang memprogramkan kampanye dan promosi toleransi di tingkat akar rumput melalui sinergi dengan kelompok pemuda,” tuturnya.

Ia menambahkan bahwa beberapa daerah memperlihatkan pendekatan kontekstual dalam menjaga resiliensi sosial. Sejumlah wilayah, kata Insiyah, juga masih menghadapi tantangan berupa isu identitas, misinformasi digital, serta warisan konflik yang memengaruhi tingkat toleransi masyarakat.

“Daerah seperti Sukabumi masih menghadapi risiko eskalasi akibat provokasi digital. Kota Bogor harus membangun kembali kepercayaan publik setelah bertahun-tahun menjadi sorotan nasional dan internasional,” ujarnya.

Ia juga menyoroti tantangan terhadap stereotip minoritas dan bias sebagian tokoh agama yang terseret politisasi identitas. Insiyah menilai peran generasi muda sangat menentukan dalam penguatan toleransi di berbagai wilayah.

“Keberlanjutan penguatan toleransi tidak hanya bertumpu pada kebijakan daerah. Tetapi juga membutuhkan literasi keberagamaan, keterlibatan generasi muda, dan penguatan ruang dialog yang inklusif,” jelasnya.

Menurutnya, KKT menunjukkan bahwa toleransi tidak hadir secara instan karena membutuhkan proses yang bertahap dan kolaboratif. Ia menekankan tiga pilar kepemimpinan—politik, birokrasi, dan kemasyarakatan—sebagai fondasi penting pembentukan masyarakat yang toleran.

“Tata masyarakat yang toleran dibangun secara bertahap, berkelanjutan, dan kolaborasi pemerintah–masyarakat sipil. Penguatan ruang dialog dan komitmen jangka panjang merupakan fondasi utama,” terangnya.

Insiyah menjelaskan bahwa sebagai tindak lanjut atas deklarasi KKT 2025, seluruh peserta sepakat mempercepat penyusunan produk hukum daerah. Mereka juga berkomitmen menjalankan program yang memperkuat toleransi serta meningkatkan kolaborasi dengan masyarakat dalam mendorong keberagaman.

“Menyusun produk hukum daerah untuk mengekselerasi pemajuan toleransi, (dan) menggalakkan program-program yang memperkuat toleransi dalam tata kebhinekaan dan kehidupan masyarakat,” pungkasnya.

HT

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *

5  +  1  =