Channel9.id-Jakarta. Setara Institute menolak revisi Undang-undang (UU) yang melemahkan kelembagaan Mahkamah Konstitusi (MK). Diantaranya mengenai pengaturan usia minimal hakim MK yang dinilai tak ada hubungannya dengan kebutuhan penguatan kelembagaan MK.
“Setara Institute menolak revisi UU MK yang justru untuk melemahkan MK, salah satunya melalui pengaturan usia minimal hakim MK, yang jelas tidak memiliki relevansi dengan kebutuhan penguatan MK,” kata Direktur Eksekutif Setara Institute, Ismail Hasani, dalam keterangan tertulisnya, Senin (17/08).
Sebagaimana diketahui, wacana revisi UU Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi (RUU MK) yang diajukan Baleg DPR menimbulkan pertanyaan publik.
Beberapa hal yang menjadi kontroversi di antaranya mengenai perubahan syarat minimal usia untuk menjadi hakim konstitusi dari 47 menjadi 60 tahun serta perubahan ketentuan aturan masa jabatan hakim konstitusi dari model periodisasi ke batas usia maksimum 70 tahun.
Ismail menilai, perubahan batas usia hakim tersebut untuk memanjakan Hakim Konstitusi medioker yang loyal dengan pembentukan UU.
“Peningkatan batas minimal usia Hakim MK dari 47 menjadi 60 dan batas pensiun dari 65 menjadi 70 tahun, berikut ketentuan ikutannya yang mengatur perihal Hakim Konstitusi yang belum berusia 60 tahun tidak bisa dipilih kembali untuk periode kedua, jelas merupakan akal-akalan pembentuk UU,” katanya.
Ismail mendorong DPR dan Pemerintah untuk lebih fokus pada sejumlah hal lain untuk memperkuat kelembagaan MK ketimbang mengurus pengaturan usia minimal hakim MK.
Menurut Ismail, penguatan kelembagaan masih dibutuhkan oleh MK. Hal ini mengingat MK sebagai pengawal konstitusi bukanlah institusi yang memiliki immunitas tinggi untuk terjangkit penyakit korupsi atau pelanggaran etik.
Ismail pun meninggung perkara suap terkait penanganan sengketa Pilkada yang menjerat mantan Ketua MK Akil Mochtar serta perkara suap pengurusan uji materi atas Undang-undang Nomor 41 Tahun 2014 tentang Peternakan dan Kesehatan Hewan yang menjerat mantan Hakim Konstitusi, Patrialis Akbar menjadi pelajaran penting dalam 17 tahun perjalanan MK.
“Selalu ada potensi penyalahgunaan kewenangan, baik dalam bentuk memperdagangkan perkara maupun dugaan memperdagangkan pengaruh. Oleh karena itu penguatan kelembagaan MK masih menjadi kebutuhan,” katanya.
Selain melalui revisi UU, penguatan kelembagaan dapat dilakukan MK dengan merealisasikan gagasan justice office. Gagasan ini dinilai dapat membangun disiplin berpikir yang berorientasi pada penguatan kualitas putusan maupun penguatan dukungan bagi hakim-hakim MK.
“Setara Institute mendorong MK merealisasikan gagasan justice office dimana setiap hakim konstitusi memiliki supporting system memadai untuk meningkatkan kualitas putusan,” katanya.
Selama 17 tahun sejak berdiri pada 2003, MK tercatat telah menangani 1.333 perkara pengujian undang-undang yang menguji 304 UU. MK telah menjadi salah satu mekanisme nasional penegakan HAM yang paling efektif melalui putusan-putusannya yang kondusif dan kontributif pada pemajuan HAM dan demokrasi.
Dari segi kualitas putusan, pada periode 10 Agustus 2019-18 Agustus 2020, Mahkamah Konstitusi mengeluarkan 75 putusan pengujian undang-undang. Sebanyak empat putusan diantaranya adalah putusan kabul, 27 putusan tolak, 32 putusan tidak dapat diterima atau NO (niet ontvankelijk verklaard), 10 produk hukum yang berbentuk ketetapan-ketetapan dan dua putusan gugur.
Dari 75 putusan itu, Setara Institute memberikan tone positif pada lima putusan, yakni tiga putusan kabul dan dua putusan tolak, dan selebihnya sebanyak 70 putusan lainnya diberikan tone netral.
“Tone positif merujuk pada putusan-putusan berkualitas baik dan progresif menjawab problem konstitusionalitas norma serta memperkuat prinsip rule of law dan promosi hak asasi manusia. Tone negatif merujuk pada kualitas putusan yang regresif dan melemahkan prinsip rule of law dan demosi hak asasi manusia dan tone netral untuk menunjuk putusan-putusan yang biasa saja, dimana sudah seharusnya MK memutus suatu perkara yang dipersoalkan,” paparnya.
Selain tidak ada tone negatif dari segi kualitas putusan, Setara juga menilai MK mengalami kemajuan signifikan dalam hal disiplin tidak melakukan ultra petita atau memutus melebihi permohonan yang dimohonkan dan ultra vires atau memutus dengan melampaui kewenangannya hingga membentuk norma baru.
Pada periode riset, yakni 10 Agustus 2019 hingga 18 Agustus 2020, Setara tidak menemukan putusan MK yang ultra petita. Namun, Setara masih menemukan praktik ultra vires. Terdapat empat putusan MK yang membentuk lima norma baru.
“Sedangkan dari sisi managemen perkara, prosedur dismissal, managemen waktu berperkara dalam pengujian UU dan lama waktu pembacaan putusan (Pleno) setelah Rapat Permusyawaratan Hakim (RPH), mengalami kemajuan,” tandasnya.